ETOS KERJA SEBAGAI MUSLIM
Menurut Koentjoroningrat (1980)
mengemukakan pandangannya bahwa etos merupakan watak khas yang tampak dari luar
dan terlihat oleh orang lain. Etos berasal dari kata Yunani, ethos, artinya
ciri, sifat, atau kebiasaan, adat istiadat atau juga kecenderungan moral,
pandangan hidup yang dimiliki seseorang, suatu kelompok orang atau bangsa.[1]
Menurut Nurcholish Madjid, etos ialah
karakter dan sikap, kebiasaan serta kepercayaan dan seterusnya yang bersifat
khusus tentang seorang individu atau sekelompok manusia. Dan dari kata etos
terambil pula perkataan “etika” yang merujuk pada makna akhlak atau bersifat
akhlaqi yaitu kualitas esensial seseorang atau sekelompok manusia termasuk
suatu bangsa. Etos juga berarti jiwa khas suatu kelompok manusia yang dari
padanya berkembang pandangan bangsa sehubungan dengan baik dan buruk yakni etika.[2]
Menurut Suparman Syukur istilah etika
sering digunakan dalam tiga perbedaan yang saling terkait, yang berarti (1)
merupakan pola umum atau jalan “hidup” (2) seperangkat aturan atau “ kode
moral” dan (3) penyelidikan tentang jalan hidup dan aturan-aturan perilaku,
atau merupakan penyelidikan filosofis tentang hakekat dan dasar-dasar moral. Ia
merupakan salah satu cabang filsafat, maka pengertian etika menurut filsafat
adalah ilmu yang menyelidiki mana yang baik dan mana yang buruk dengan
memperhatikan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat diketahui oleh pikiran.[3]
Agar pendidikan etika dan moral
mempunyai arti khusus, harus ada kesepakatan mengenai nilai-nilai yang dianggap
“benar” hal ini dijelaskan menurut Branker (1987), penulis “Ethics Column” dalam
Manajemen Accounting. Sepuluh dari nilai ini diidentifikasikan dan
dijelaskan oleh Michael Josephson dalam Teaching ethical Decision Making and
Principle Rasioning. Kesepuluh nilai tersebut adalah: (1) kejujuran (honesty),
(2) Integritas (integrity), (3) Memegang janji (promise keeping) (4)
kesetiaan (fidelity), (5) keadilan (fairness), (6) keperdulian
terhadap sesamanya (carring for others), (7) penghargaan terhadap orang
lain (respect foe other), (8) kewarganegaraan yang bertanggung jawab (responsible
citizenship), (9) pencapaian kesempurnaan (pursuit of
excellence), (10) Akuntanbilitas (accountability).[4]
Adapun kerja dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, artinya: kegiatan melakukan sesuatu. El-Qussy (1974), seorang pakar
ilmu jiwa berkebangsaan Mesir menerangkan bahwa kegiatan atau perbuatan manusia
ada dua jenis pertama perbuatan yang berhubungan dengan kegiatan mental dan
kedua tindakan yang dilakukan secara tidak sengaja. Jenis pertama mempunyai ciri
kepentingan yakni untuk mencapai maksud atau mewujudkan tujuan tetentu. Sedangkan
jenis kedua adalah gerakan random (random movement) atau gerakan reflek
yang terjadi tanpa dorongan kehendak atau proses pemikiran. Kerja yang dimaksud
disini tentu saja kerja yang merupakan aktivitas sengaja, bermotif dan bertujuan.
Pengertian kerja biasanya terikat dengan penghasilan atau upaya memperoleh
hasil, baik bersifat materiil atau non materil.[5]
Etos kerja, menurut Mochtar Buchori
(1995) dapat diartikan sebagai sikap dan pandangan terhadap kerja, kebiasaan
kerja, ciri-ciri atau sifat-sifat mengenai cara kerja yang dimiliki seseorang, suatu
kelompok manusia atau suatu bangsa. Ia juga menjelaskan etos kerja juga merupakan
bagian dari tata nilai individualnya. Demikian juga etos kerja suatu kelompok
masyarakat atau bangsa, ia merupakan bagian dari tata nilai yang ada pada masyarakat
atau bangsa. Etos kerja adalah sifat, watak dan kualitas kehidupan manusia,
moral dan gaya estetik serta suasana batin mereka. Ia merupakan sikap mendasar
terhadap diri dan dunia mereka yang direfleksikan dalam kehidupan nyata. Etos
kerja adalah pancaran dari sikap hidup manusia yang mendasar pada kerja.[6]
Adapun etos kerja menurut arti yang
bertolak dari etika, yaitu moralitas dan kebajikan dalam bekerja, ia dapat
dijabarkan dalam bentuk kode etik sebagai code of conduct. Kode etik
inilah kemudian menjelma menjadi etika kerja, etika profesi atau kerja sebagai
kearifan sikap dalam bekerja. Etos kerja menunjukkan ciriciri perilaku
berkualitas tinggi pada seseoarang yang mencerminkan keluhuran serta keunggulan
watak. Dengan berpedoman pada etos kerja itulah seseorang dapat bekerja dengan
baik.
B.
ETOS KERJA DALAM PERSFEKTIF ISLAM
1.
Etika Kerja Islam
Ahmad Janan Asifudin menegaskan bahwa
manusia adalah makhluk yang diarahkan dan terpengaruh oleh keyakinan yang
mengikatnya. Salah atau benar keyakinan tersebut niscaya mewarnai perilaku
orang yang bersangkutan. Dalam konteks ini selain dorongan kebutuhan dan
aktualisasi diri, nilai-nilai yang dianut, keyakinan atau ajaran agama tentu
dapat pula menjadi sesuatu yang berperan dalam proses terbentuknya sikap hidup
yang mendasar. Berarti kemunculan etos kerja manusia didorong oleh sikap hidup
sebagai tersebut diatas baik disertai kesadaran yang mantap maupun kurang
mantap. Sikap hidup yang mendasar tersebut menjadi sumber komitmen yang
membentuk karakter, kebiasaan atau budaya kerja tertentu.[7]
Dikarenakan latar belakang keyakinan
yang berbeda maka cara terbentuknya etos kerja yang tidak bersangkut paut
dengan agama (non agama) dengan sendirinya mengandung perbedaan dengan cara
terbentuknya etos kerja yang berbasis agama, dalam hal ini adalah etos kerja
Islami. Tentang bagaimana etos kerja dapat diaktualisasikan dalam kehidupan
sehari-hari kenyataannya bukan sesuatu yang mudah. Sebab realitas kehidupan
manusia bersifat dinamis, majemuk, berubah-ubah dan antara satu orang degan
lainnya mempunyai latar belakang dan kondisi sosial ekonomi yang berbeda.
Disamping terpengaruh oleh factor ekstern yang amat beraneka ragam meliputi
faktor fisik, lingkangan, ekonomi dan imbalan, ternyata jug adinegaruhi oleh
faktor intern bersifat psikis yang begitu dinamis, dan sebagian diantaranya
merupaan dorongan alamiah seperti basic needs dengan berbagai
hambatanya. Ringkasnya etos kerja seseorang tidak terbentuk oleh satu atau dua
varibel. Proses terbentuknya etos kerja (termasuk etos kerja islami), seiring
dengan kompleksistas menusia yang besifat kodrati, melibatkan kondisi,
prakondisi, dan faktor-faktor yang banyak: fisik bologis, mental psikis, sosio kultural,
dan mungkin spiritual trasendental. Jadi etos kerja bersifat kompleks serta dinamis.
Untuk memberikan gambaran mengenai
persamaan dan perbedaan etos kerja non agama dan etos kerja islami Ahmad Janan
Asifudin mengungkapkan bahwa persamaan etos kerja non agama dengan etos kerja
islami antara lain: (1) etos kerja non agama dan etos kerja islami sama-sama
berupa karakter dan kebiasaan berkenaan dengan kerja yang terpancar dari sikap
hidup manusia yang mendasar terhadapnya. (2) keduanya timbul karena motivasi,
(3) motovasi keduanya samasama didorong dan dipengaruhi oleh sikap hidup yang
mendasar terhadap kerja, (4) keduanya sama-sama dipengaruhi secara dinamis dan
manusiawi oleh berbagai faktor intern, dan ekstern yang bersifat kompleks.[8]
Sedangkan perbedaan antara etika kerja
non agama dengan etika kerja agama (Islami) menurut Ahmad Janan Asifudin adalah
sebagai berikut:
Etika kerja non agama:
a)
Sikap hidup
mendasar terhadap kerja disini timbul dari hasil kerja akal dan/atau nila-nilai
yang dianut ( tiak betolak dari iman keagamaan tertentu).
b)
Tidak ada iman.
c)
Motivasi timbul
dari sikap hidup mendasar terhadap kerja. Disini motovasi tidak tersangkut paut
dengan iman, agama, atau niat ibadah bersumber dari akal dan/atau pandangan
hidup/nilai-nilai yang dianut.
d)
Etika kerja
berdasarkan akal dan/atau pandangan hidup/nilai-nilai yang dianut.
Etika kerja Islami:
a)
Sikap hidup
mendasar pada kerja disini identik dengan system keimanan/aqidah Islam
berkenaan dengan kerja atas dasar pemahaman bersumber dari wahyu dan akal yang
saling bekerja sama secara proporsional. Akal lebih banyak berfungsi sebagai
alat memahami wahyu (meski dimungkinkan akal memperoleh pemahaman dari sumber
lain, namun menyatu dengan system keimana Islam).
b)
Iman eksis dan
terbentuk sebagai buah pemahaman terhadap wahyu. Dalam hal ini akal selain
berfungsi sebagai alat, juga berpeluang menjadi sumber. Disamping menjadi dasar
acuan etika kerja islami, iman islami, (atas dasar pemahaman) berkenaan dengan
kerja inilah yang menimbulkan sikap hidup mendasar (aqidah) terhadap kerja, sekaligus
motivasi kerja islami.
c)
Motovasi disini
timbul dan bertolak dari sistem keimanan/aqidah Islam berkenaan kerja bersumber
dari ajaran wahyu dan akal yang saling bekerjasama. Maka motivasi berangkat
dari niat ibadah kepada Allah dan iman terhadap adanya kehidupan ukhrawi yang
jauh lebih bermakna.
d)
Etika kerja
berdasarkan keimanan terhadap ajaran wahyu berkenaan dengan etika kerja dan
hasil pemahaman akal yang membentuk system keimanan/aqidah Islam sehubungan
dengan kerja (aqidah kerja).
Dengan melihat persamaan dan perbedaan
tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa etos kerja seseorang terbentuk
oleh adanya motivasi yang terpancar dari sikap hidupnya yang mendasar terhadap
keja. Sikap itu bersumber dari akal dan atau pandangan hidup/nilai-nilai yang
dianut tanpa harus terkait dengan iman atau ajaran agama. Khusus bagi orang
yang beretos kerja Islami, etos kerjanya terpancar dari sistem keimanan/aqidah
Islam berkenaan dengan kerja yang bertolak dari ajaran wahyu bekerjasama dengan
akal. Sistem keimanan ini identik dengan sikap hidup mendasar (aqidah kerja).
Ia menjadi sumber motivasi dan sumber nilai bagi terbentuknya etos kerja
islami. Etos kerja ini selalau mendapat pengaruh dari berbagai faktor baik
faktor internal maupun faktor eksternal sesuai dengan kodrat manusia selaku
makhluk psikofisik yang tidak kebal dari berbagai rangsang, baik langsung
maupun tidak langsung. Dengan demikian terbentuknya etos kerja islami melibatkan
banyak faktor dan tidak hanya terbentuk secara murni oleh satu atau dua faktor
tertentu.
Menurut Said Mahmud Pada hakeketnya
etika kerja Islami merupakan pancaran dari nilai yang ikut membentuk corak
khusus karakteristik etos kerja islami. Sebagai bagian dari akhlak tentunnya
harus dikembangkan pada dua sayap, yakni sayap hubungan manusia dengan Allah
yang maha pencipta (mu’amalah ma’al khaliq) dan sayap hubungan antara
manusia dengan makhluk (mu’amalah ma’al khalq). Pada sayap pertama
dikembangkan etika tauhid dan penghormatan yang banyak bagi Allah dalam kerja.
Jadi segala bentuk perilaku syirk, perbuatan dan perkataan yang secara
langsung atau tidak langsung merendahkan atau menghujat Allah dapat
dikategorikan tidak sejalan dengan etika kerja Islami. Di sini hendaknya
ditekankan pada sikap ikhlas dalam menghadapi takdir. Sedangkan pada sayap yang
kedua mesti dikembangkan sikap-sikap proporsional dan perilaku yang bertolak
dari semangat ketaatan pada norma-norma Ilahi berkaitan dengan kerja.[9]
Said Mahmud menyatakan bahwa ada dua
syarat mutlak suatu pekerjaan dapat digolongkan sebagai amal soleh yaitu; (1) husnul
fa’illiyyah, yakni lahir dari keikhlasan niat pelaku, (2) husnul
fi’illiyyah, maksudnya pekerjaan itu memiliki nilai-nilai kebaikan berdasarkan
kriteria yang ditetapkan oleh syara, sunnah nabi, atau akal sehat. Keduanya disamping
menjadi syarat amal saleh sebagimana tersebut diatas, ternyata juga menjadi
dasar dan jiwa etika kerja islami yang bersifat khas. Dengan konteks demikian,
minimal terdapat tiga prinsip etis; (1) ikhlas menerima takdir, (2) menegakkan
proporsionalitas, (3) sadar menaati norma.[10]
Etika kerja Islam di ungkapkan Iwan
Triwuyono bahwa tujuan utama etika menurut Islam adalah “menyebarkan rahmat
pada semua makhluk”. Tujuan itu secara normatif berasal dari keyakinan Islam
dan misi sejati hidup manusia. Tujuan itu pada hakekatnya bersifat trasendental
karena tujuan itu tidak terbatas pada kehidupan dunia individu, tetapi juga
pada kehidupan setelah dunia ini. Walaupun tujuan itu agaknya terlalu abstrak,
tujuan itu dapat diterjemahkan dalam tujuan-tujuan yang lebih praktis (operatif),
sejauh penerjemahan itu masih terus terinspirasi dari dan meliputi nilai-nilai
tujuan utama. Dalam pencapaian tujuan tersebut diperlukan peraturan etik untuk
memastikan bahwa upaya yang merealisasikan baik tujuan umat maupun tujuan
operatif selalu dijalan yang benar.[11]
Etika kerja Islam ditegaskan Iwan
Triwuyono, terekspresikan dalam bentuk syari’ah, yang terdiri dari Al Qur’an
, sunnah (identik dengan hadist), ijma dan Qiyas. Etika
merupakan sistem hukum dan moralitas yang komprehensif dan meliputi seluruh
wilayah kehidupan manusia. Didasarkan pada sifat keadilan, syari’ah bagi umat
Islam berfungsi sebagai sumber serangkaian kriteria untuk membedakan mana yang
benar (haq) dan mana yang buruk (batil). Dengan menggunakan
syari’ah, bukan hanya membawa individu dekat dengan Tuhan, tetapi juga
memfasilitasi terbentuknya masyarakat yang adil yang didalamnya individu mampu
merealisasikan potensinya dan kesejahteraan diperuntukkan bagi semua.[12]
Qur’an dan sunnah merupakan pegangan dan landasan utama
dalam etika Islam, sebab pandangan umum dalam masyarakat Islam tentang berbagai
perilaku yang benar dalam melaksanakan kewajiban- kewajiban agama, pemahaman yang
benar tentang doktrin-doktrin keagamaan tidak bisa dipisahkan dari berbagai unsur
pokok dalam kehidupan moral. Struktur yang komprehensif ini, bagaimanapun berbagai
bentuk tingkah laku dalam Islam, secara khusus dibentuk dalam term adab, dimana
diskursus adab dalam konteks keagamaan yang paling awal secara khusus memiliki
konotasi etik (ethical connotation).
Ahmad Janan Asifudin, Etos kerja dalam
perspektif Islam diartikan sebagai pancaran dari akidah yang bersumber dari
pada sistem keimanan Islam yakni, sebagai sikap hidup yang mendasar berkenaan
dengan kerja, sehingga dapat dibangun paradigma etos kerja yang islami.
Sedangkan karakteristikkarakteristik etos kerja islami digali dan dirumuskan
berdasarkan konsep; (1) Kerja merupakan penjabaran aqidah, (2) Kerja dilandasi
ilmu, (3) Kerja dengan meneladani sifat-sifat Ilahi serta mengikuti petunjuk-petunjuk
Nya. Terkait dengan aqidah dan ajaran Islam sebagai sumber motivasi
kerja islami, secara konseptual bahwasanya Islam berdasarkan ajaran wahyu
bekerja sama dengan akal adalah agama amal atau agama kerja.[13]
Bahwasanya untuk mendekatkan diri serta memperoleh ridha Allah, seorang
hamba harus melakukan amal saleh yang dikerjakan dengan ikhlas hanya karena
Dia., yakni dengan memurnikan tauhid,:
فَمَنْ كَانَ يَرْجُو لِقَاءَ رَبِّهِ
فَلْيَعْمَلْ عَمَلا صَالِحًا وَلا يُشْرِكْ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ أَحَدًا ….
Artinya: “Siapa pun yang mengharapkan
pertemuan dengan-Nya hendaknya beramal saleh dan tidak menyekutukan dalam
beribadat kepada Tuhannya dengan siapa pun”. (QS al-kahfi:110).[14]
Afzalurrahman (1995) mengungkapkan
bahwa banyak ayat dalam Al Qur’an yang menekankan pentingnya kerja.
Seseorang tidak mendapatkan sesuatu, kecuali apa yang telah diusahakannya. Dengan
jelas dinyatakan dalam ayat ini bahwa satu-satunya cara untuk menghasilkan sesuatu
dari alam adalah dengan bekerja keras. Keberhasilan dan kemajuan manusia dimuka
bumi ini tergantung pada usahanya. Semakin keras ia bekerja, ia akan semakin
kaya.[15]
Prinsip ini lebih lanjut dijelaskan dalam ayat-ayat berikut:
…. لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ
مِمَّا اكْتَسَبْنَ ….
Artinya: “… Bagi laki-laki dapat bagian dari usahanya, dan bagi
perempuan ada pula bagian dari usahanya …”. (QS. An Nisaa’:32).[16]
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا
نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَأَنَّ
اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya: “Yang demikian karena Allah sekali-kali tidak akan mengubah
kenikmatan pada suatu kaum, samapai mereka sendiri yang mengubah-nya. Sungguh
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al-Anfaal:53).[17]
Ahmad Janan Asifudin dengan bekerja
orang membangun kepribadian dalam rangka memperoleh peran kemanusiaanya.
Bekerja menjadi proses pembebasan serta peneguhan humanitas orang yang bersangkutan.
Bekerja dapat dijadikan media untuk mengembangkan pribadi dan kreatifitasnya
secara optimal dengan cara membuka usaha, menciptakan serta memperluas lapangan
pekerjaan sehubungan dengan kedalaman penguasaan dirinya yang bermuatan cahaya
Ilahi. Menghadapi masalah lapangan kerja, Islam lebih cenderung pada sikap optimis
sesuai dengan firman Allah “katakanlah masing-masing orang bekerja menurut
bakatnya”.[18]
2.
Konsep Kerja Dalam Islam
وَقُلِ
اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ
وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا
كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya: ”katakan, “Beramallah sebanyak-banyaknya! Allah, Rasul-Nya dan
orang-orang mukmin akan menilai amalmu. Lalu kamu sekalian akan dikembalikan kepada
Allah yang mengetahuai segala yang gaib dan yang nyata. Disana Allah akan
memberitahukan kepadamu segala perbuatan yang kamu lakukan”. (QS.
At-Taubah:105).[19]
Kemuliaan seorang manusia itu
bergantung kepada apa yang dilakukannya. Dengan itu, sesuatu amalan atau
pekerjaan yang mendekatkan seseorang kepada Allah adalah sangat penting serta
patut untuk diberi perhatian. Amalan atau pekerjaan yang demikian selain
memperoleh keberkahan serta kesenangan dunia, juga ada yang lebih penting yaitu
merupakan jalan atau tiket dalam menentukan tahap kehidupan seseorang di
akhirat kelak; apakah masuk golongan ahli syurga atau sebaliknya.Istilah
‘kerja’ dalam Islam bukanlah semata-mata merujuk kepada mencari rezeki untuk
menghidupi diri dan keluarga dengan menghabiskan waktu siang maupun malam, dari
pagi hingga sore, terus menerus tak kenal lelah, tetapi kerja mencakup segala
bentuk amalan atau pekerjaan yang mempunyai unsur kebaikan dan keberkahan bagi
diri, keluarga dan masyarakat sekelilingnya serta negara.
Islam menempatkan kerja atau amal
sebagai kewajiban setiap muslim. Kerja bukan sekedar upaya mendapatkan rezeki
yang halal guna memenuhi kebutuhan hidup, tetapi mengandung makna ibadah
seorang hamba kepada Allah, menuju sukses di akhirat kelak. Oleh sebab itu, muslim
mesti menjadikan kerja sebagai kesadaran spiritualnya.
Dengan semangat ini, setiap muslim akan
berupaya maksimal dalam melakukan pekerjaannya. la berusaha menyelesaikan
setiap tugas dan pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya dan berusaha pula agar
setiap hasil kerjanya menghasilkan kualitas yang baik dan memuaskan. Dengan
kata lain, ia akan menjadi orang yang terbaik dalam setiap bidang yang ditekuninya.
Ada dua tahapan yang harus dilakukan seseorang agar prestasi kerja meningkat
dan kerjapun bernilai ibadah.[20]
Pertama, Kerja Ikhlas. Betapa
banyak para pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya dengan tekun, cerdas, gigih
dan penuh tanggungjawab namun jauh dari nilai-nilai keikhlasan akhirnya menjadi
petaka. Bekerja dengan dilandasi keikhlasan adalah suatu keharusan agar materi
dari hasil kerja didapat sementara pahala diraih.
Kedua, Kerja keras dan cerdas.
Ukuran kerja keras adalah kesempatan berbuat, tanpa pamrih, bekerja maksimal
dan Kepasifan dalam menghadapi pekerjaan membatasi seseorang tidak berusaha
meningkatkan kemampuan profesionalismenya. Profesionalisme biasanya dijadikan
ukuran dalam peningkatan prestasi di setiap pekerjaan. Dalam mengerjakan
sesuatu, seorang muslim selalu melandasinya dengan mengharap ridha Allah. Ini
berimplikasi bahwa ia tidak boleh melakukan sesuatu dengan sembrono, sikap
seenaknya, dan secara acuh tak acuh. Sehubungan dengan ini, optimalisasi nilai
hasil kerja berkaitan erat dengan konsep ihsan. Ihsan berkaitan dengan etos
kerja, yaitu melakukan pekerjaan dengan sebaik mungkin, sesempurna mungkin atau
seoptimal mungkin.
….إِنَّ
اللَّهَ لا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ….
Artinya: “…. Sungguh, Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum
sampai mereka sendiri mengubah dirinya ….”. (QS. Ar-Ra’d:11).[21]
وَأَنْ
لَيْسَ لِلإنْسَانِ إِلا مَا سَعَى
Artinya: “dan bahwa seseorang hanya akan mendapat balasan amal yang ia
lakukan saja”. (QS. Al-Najm:39).[22]
Dengan kata lain, orang yang berkerja
adalah mereka yang menyumbangkan jiwa dan tenaganya untuk kebaikan diri,
keluarga, masyarakat dan negara tanpa menyusahkan orang lain. Oleh karena itu,
kategori ahli Syurga seperti yang digambarkan dalam Al Qur’an bukanlah orang yang
mempunyai pekerjaan/jabatan yang tinggi dalam suatu perusahaan/instansi sebagai
manajer, direktur, teknisi dalam suatu bengkel dan sebagainya. Tetapi
sebaliknya Al Qur’an menggariskan golongan yang baik lagi beruntung (al-falah)
itu adalah orang yang banyak taqwa kepada Allah, khusyu sholatnya, baik tutur
katanya, memelihara pandangan dan kemaluannya serta menunaikan tanggung jawab
sosialnya seperti mengeluarkan zakat dan lainnya.
Golongan ini mungkin terdiri dari
pegawai, supir, tukang sapu ataupun seorang yang tidak mempunyai pekerjaan
tetap. Sifat-sifat di ataslah sebenarnya yang menjamin kebaikan dan kedudukan
seseorang di dunia dan di akhirat kelak. Jika membaca hadits-hadits Rasulullah SAW
tentang ciri-ciri manusia yang baik di sisi Allah, maka tidak heran bahwa
diantara mereka itu ada golongan yang memberi minum anjing kelaparan, mereka
yang memelihara mata, telinga dan lidah dari perkara yang tidak berguna, tanpa
melakukan amalan sunnah yang banyak dan seumpamanya.
3.
Etos Kerja Rasulullah SAW Sebagai Uswah
Rasulullah SAW selalu menekankan untuk
bekerja dan tidak pernah menyukai orang yang tergantung pada sedekah.
“Diriwayatkan bahwa seorang penganggur dari kaum Anshar
pernah meminta sedekah pada Rasulullah. Beliau bertanya apakah ia memiliki
sesuatu. Ia menjawab bahwa ia memiliki selimut untuk menutupi tubuhnya dan
cangkir untuk minum. Rasulullah meminta untuk membawa benda-benda tersebut.
Ketika ia membawanya, Rasulullah mengambilnya dengan tangan beliau lalu
menawarkannya kepada orang-orang untuk dilelang. Salah satu dari yang hadir
lalu menawarnya satu dirham. Rasulullah memintanya untuk menaikkan tawaran.
Yang lain menawarnya dengan dua dirham dan membelinya. Rasulullah memberikan
yang dua dirham itu pada orang tersebut dan menyarankannya untuk membeli sebuah
kapak yang harganya satu dirham. Ketika telah membelinya, Rasulullah
memperbaiki tangkai kapak tersebut dengan tangan beliau sendiri, ia
memberikannya pada orang tersebut sambil berkata “ pergilah ke hutan dan tebang
lah pohon dan janganlah kau datang menemui ku sebelum lima belas hari”. Setelah
dua minggu berlalu, ketika ia kembali, Rasulullah menanyakan bagaimana
keadaannya. Ia menjawab bahwa ia memperoleh dua belas dirham selama itu dan
mampu membeli beberapa helai kain dan padi. Rasulullah berkata “ini lebih baik
dari pada mengemis dan membuat malu diri sendiri di hari pembalasan nanti”. (HR. Tirmidzi dan Abu Daud).
Hadist ini secara jelas telah
memperlihatkan bagaimana Rasulullah SAW dan para sahabatnya bersepakat atas
penting dan besarnya manfaat tentang kerja danbertapa mereka lebih menyukai
untuk menanggung hidupnya dengan kerja keras. Unsur utama etika kerja Islami
ialah petunjuk syari’ah bahwa kerja apapun hendaknya dilakukan dengan
sebaik-baiknya guna menunjang kehidupan pribadi, keluarga, dan orang yang
menunggu uluran tangan. Nilai kerja demikian menurut pandangan Islam adalah
sebanding dengan nilai amaliyah wajib. Jadi, kerja positif bercorak keduniaan
juga merupakan tugas keagamaan. Islam dapat menerima baik tindakan individu
yang mempunyai profesi atau bidang kerja tertentu kemudian dia memprioritaskan
profesi dan bidang kerjanya daripada menunaikan amaliyahamaliyah sunnah. Dengan
catatan pekerjaan yang dilakukan tetap dijiwai oleh motivasi ibadah dan
kegiatannya tidak menjadikan dia menelantarkan amal-amal ibadah yang hukumnya
wajib.[23]
Rasulullah SAW menjadikan kerja sebagai
aktualisasi keimanan dan ketakwaan. Rasul bekerja bukan untuk menumpuk kekayaan
duniawi. Beliau bekerja untuk meraih keridaan Allah SWT.Suatu hari Rasulullah
SAW berjumpa dengan Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari. Ketika itu Rasul melihat
tangan Sa’ad melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman seperti terpanggang
matahari. “Kenapa tanganmu?,” tanya Rasul kepada Sa’ad. “Wahai
Rasulullah,” jawab Sa’ad, “Tanganku seperti ini karena aku mengolah
tanah dengan cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi
tanggunganku”. Seketika itu beliau mengambil tangan Sa’ad dan menciumnya
seraya berkata, “Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka”.[24]
Bekerja adalah manifestasi amal saleh.
Bila kerja itu amal saleh, maka kerja adalah ibadah. Dan bila kerja itu ibadah,
maka kehidupan manusia tidak bisa dilepaskan dari kerja. Bukankah Allah SWT
menciptakan manusia untuk beribadah kepada-Nya?
Kisah di awal menggambarkan betapa
besarnya penghargaan Rasulullah SAW terhadap kerja. Kerja apapun itu selama
tidak menyimpang dari aturan yang ditetapkan agama. Demikian besarnya
penghargaan beliau, sampai-sampai dalam kisah pertama, manusia teragung ini
“rela” mencium tangan Sa’ad bin Mu’adz Al-Anshari yang melepuh lagi gosong.
Rasulullah SAW, dalam dua kisah tersebut, memberikan motivasi pada umatnya
bahwa bekerja adalah perbuatan mulia dan termasuk bagian dari jihad.[25]
Rasulullah SAW adalah sosok yang selalu
berbuat sebelum beliau memerintahkan para sahabat untuk melakukannya. Hal ini
sesuai dengan tugas beliau sebagai ushwatun hasanah; teladan yang baik bagi
seluruh manusia. Maka saat kita berbicara tentang etos kerja islami, maka
beliaulah orang yang paling pantas menjadi rujukan. Dan berbicara tentang etos
kerja Rasulullah SAW sama artinya dengan berbicara bagaimana beliau menjalankan
peran-peran dalam hidupnya.
Ada lima peran penting yang diemban
Rasulullah SAW, yaitu :[26]
Pertama, Sebagai Rasul. Peran ini beliau jalani selama 23 tahun.
Dalam kurun waktu tersebut beliau harus berdakwah menyebarkan Islam; menerima,
menghapal, menyampaikan, dan menjelaskan tak kurang dari 6666 ayat Alquran;
menjadi guru (pembimbing) bagi para sahabat; dan menjadi hakim yang memutuskan
berbagai pelik permasalahan umat-dari mulai pembunuhan sampai perceraian.
Kedua, Sebagai kepala negara dan pemimpin sebuah masyarakat
heterogen. Tatkala memegang posisi ini Rasulullah SAW harus menerima kunjungan
diplomatik “negara-negara sahabat”. Rasul pun harus menata dan menciptakan
sistem hukum yang mampu menyatukan kaum Muslimin, Nasrani, dan Yahudi, mengatur
perekonomian, dan setumpuk masalah lainnya.
Ketiga, Sebagai panglima perang. Selama hidup tak kurang dari
28 kali Rasul memimpin pertempuran melawan kafir Quraisy. Sebagai panglima
perang beliau harus mengorganisasi lebih dari 53 pasukan kaveleri bersenjata.
Harus memikirkan strategi perang, persedian logistik, keamanan, transportasi,
kesehatan, dan lainnya.
Keempat, sebagai kepala rumahtangga. Dalam posisi ini Rasul
harus mendidik, membahagiakan, dan memenuhi tanggung jawab-lahir batin-terhadap
para istri beliau, tujuh anak, dan beberapa orang cucu. Beliau dikenal sebagai
sosok yang sangat perhatian terhadap keluarganya. Di tengah kesibukannya Rasul
pun masih sempat bercanda dan menjahit sendiri bajunya.
Kelima, Sebagai seorang pebisnis. Sejak usia 12 tahun pamannya
Abu Thalib sudah mengajaknya melakukan perjalanan bisnis ke Syam, negeri yang
saat ini meliputi Syria, Jordan, dan Lebanon. Dari usia 17 hingga sekitar 20
tahun adalah masa tersulit dalam perjalanan bisnis Rasul karena beliau harus
mandiri dan bersaing dengan pemain pemain senior dalam perdagangan regional.
Usia 20 hingga 25 tahun merupakan titik keemasan entrepreneurship Rasulullah
SAW terbukti dengan “terpikatnya” konglomerat Mekah, Khadijah binti Khuwailid,
yang kemudian melamarnya menjadi suami. Afzalurrahman dalam bukunya, Muhammad Sebagai
Seorang Pedagang (2000: 5-12), mencatat bahwa Rasul pun sering terlibat dalam
perjalanan bisnis ke berbagai negeri seperti Yaman, Oman, dan Bahrain. Dan
beliau mulai mengurangi kegiatan bisnisnya ketika mencapai usia 37 tahun.
Adalah kenyataan bila Rasulullah SAW mampu menjalankan kelima perannya tersebut
dengan sempurna, bahkan menjadi yang terbaik. Tak heran bila para ilmuwan, baik
itu yang Muslim maupun non-Muslim, menempatkan beliau sebagai orang yang paling
berpengaruh.[27]
[2] Nurcholish Majid, “Islam
doktrin dan peradaban”,( 1995), dalam Alwiyah Jamil, ”Pengaruh
EtikaKerja Islam Terhadap Sikap-sikap Pada Perubahan Organisasi: Komitmen
Organisasi Sebagai mediator”, Tesis (Program Study Magister Akuntansi,
Universitas Diponegoro, 2007, Semarang).
[4] Hansen, Don R .
and Mowen, Maryanne M. Mowen, “Akuntansi Manajemen”, (1999), dalam
Alwiyah Jamil, Ibid.
[9] Said Mahmud, “Konsep
Amal Saleh dalam al-quran”, Disertasi (1995), dalam Alwiyah Jamil, ”Pengaruh
EtikaKerja Islam Terhadap Sikap-sikap Pada Perubahan Organisasi: Komitmen
Organisasi Sebagai mediator”, Tesis (Program Study Magister Akuntansi,
Universitas Diponegoro, 2007, Semarang).
[14] “Al-Quran
Database XP 4.0” & “Qur’an Karim dan Terjemahan Artinya”, (UII
Press, Yogyakarta, 2009).
[15] Astria Fitria, “Pengaruh
Etika Kerja Islam Terhadap Sikap Akuntan dalam Perubahan Organisasi dengan
Komitmen Organisasi sebagai Variabel Intervening”. (Jurnal Manajemen
Akuntansi dan Sistem Informasi, 2003).
[16] “Al-Quran
Database XP 4.0” & “Qur’an Karim dan Terjemahan Artinya”, (UII
Press, Yogyakarta, 2009).
[17] Ibid.
[19] “Al-Quran
Database XP 4.0” & “Qur’an Karim dan Terjemahan Artinya”, (UII
Press, Yogyakarta, 2009).
[20] Dr. Asyraf Abd Rahman, “Konsep Kerja dalam Islam”,
dalam Jazuli Suryadhi, “Etos Kerja Dalam Persfektif Islam”, Artikel (Ketua
Harian DKM Masjid Manarul ‘Amal UMB), http://www.mercubuana.ac.id
[21] “Al-Quran
Database XP 4.0” & “Qur’an Karim dan Terjemahan Artinya”, (UII
Press, Yogyakarta, 2009).
[22] Ibid.
[24] Said Ramadhan Al-Buthy, “Sirroh Nabawiyah”, dalam
Jazuli Suryadhi, “Etos Kerja Dalam Persfektif Islam”, Artikel (Ketua
Harian DKM Masjid Manarul ‘Amal UMB), http://www.mercubuana.ac.id
ETOS KERJA SEBAGAI MUSLIM
Reviewed by Unknown
on
Monday, March 05, 2012
Rating:
No comments: