PENGAWASAN DAN KORUPSI DALAM PERSPEKTIF HAN
Salah satu isu
yang paling krusial untuk dipecahkan oleh bangsa dan pemerintah Indonesia
adalah masalah korupsi. Hal ini
disebabkan semakin lama tindak pidana korupsi di Indonesia semakin sulit untuk
diatasi. Maraknya korupsi di Indonesia disinyalir terjadi di semua bidang dan sektor
pembangunan.
Pemerintah
Indonesia sebenarnya tidak tinggal diam dalam mengatasi praktek-praktek
korupsi. Upaya pemerintah dilaksanakan melalui berbagai kebijakan berupa
peraturan perundang-undangan dari yang tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945
sampai dengan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selain itu, pemerintah juga membentuk komisi-komisi yang berhubungan langsung
dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi seperti Komisi Pemeriksa Kekayaan
Penyelenggara Negara (KPKPN) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Upaya
pencegahan praktek korupsi juga dilakukan di lingkungan eksekutif atau
penyelenggara negara, dimana masing-masing instansi memiliki Internal Control Unit (unit pengawas dan
pengendali dalam instansi) yang berupa inspektorat. Fungsi inspektorat
mengawasi dan memeriksa penyelenggaraan kegiatan pembangunan di instansi
masing-masing, terutama pengelolaan keuangan negara, agar kegiatan pembangunan
berjalan secara efektif, efisien dan ekonomis sesuai sasaran. Di samping
pengawasan internal, ada juga pengawasan dan pemeriksaan kegiatan pembangunan
yang dilakukan oleh instansi eksternal yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawas
Keuangan Pembangunan (BPKP).[1]
Selain lembaga
internal dan eksternal, lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga ikut berperan
dalam melakukan pengawasan kegiatan pembangunan, terutama kasus-kasus korupsi
yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Beberapa LSM yang aktif dan gencar
mengawasi dan melaporkan praktek korupsi yang dilakukan penyelenggara negara
antara lain adalah Indonesian Corruption
Watch (ICW), Government Watch (GOWA),
dan Masyarakat Tranparansi Indonesia (MTI).[2]
Dilihat dari
upaya-upaya pemerintah dalam memberantas praktek korupsi di atas sepertinya
sudah cukup memadai baik dilihat dari segi hukum dan peraturan
perundang-undangan, komisi-komisi, lembaga pemeriksa baik internal maupun
eksternal, bahkan keterlibatan LSM. Namun, kenyataannya praktek korupsi
bukannya berkurang malah meningkat dari tahun ke tahun.
Di Indonesia,
untuk kategori manipulasi uang negara, sektor yang paling korup ialah pengadaan barang dan jasa mencakup
konstruksi, pekerjaan umum, perlengkapan militer, dan barang jasa pemerintah.
Untuk kasus suap dan pemerasan, korupsi terbesar terjadi di kepolisian, sektor
peradilan, pajak dan bea cukai, serta sektor perijinan. Korupsi juga terjadi di
kalangan politisi (anggota DPR dan partai politik), serta pada praktek kolusi
dalam bisnis. Untuk kasus kolusi bisnis, korupsi terbesar terjadi di tubuh
militer, kepolisian, dan pegawai pemerintah lewat koperasi dan yayasan. Dari
segi aktornya, pelaku korupsi terbagi menjadi aparat pemerintah, pelaku sektor
bisnis, dan warga masyarakat. Secara tradisional, pelaku korupsi biasanya hanya
menyangkut pemerintah atau aparat birokrasi dengan warga. Namun demikian,
kecenderungan saat ini menunjukkan adanya peningkatan kontribusi atas tingkatan
korupsi dari pelaku di sektor bisnis.
Biasanya kasus
korupsi selalu melibatkan dua pihak, yaitu aparat (yang menerima suap) dan
warga (yang memberi suap). Namun demikian dalam kacamata hukum, penggelapan
juga merupakan tindakan pidana korupsi, walaupun jenis korupsi ini tidak
melibatkan warga masyarakat secara langsung, karena penggelepan hanya dilakukan
oleh satu pihak saja, yaitu aparat. Penggelapan adalah salah satu bentuk
korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang menjadi modus korupsi di negara
paling korup, melibatkan pemegang kekuasaan hak monopoli. Kasus penggelapan
paling banyak ditemukan adalah dalam bentuk memproteksi kepentingan bisnis
mereka dengan menggunakan kekuatan politik. Di beberapa negara lain modus yang
terjadi seperti upaya menasionalisasi perusahaan asing, hak properti dan hak
monopoli, serta mendistribusikannya ke kelompok/golongan yang dekat dengan
kekuasaan.
Namun demikian,
pada kenyataannya keberadaan instrumen hukum ini tidak lantas mempermudah
penegakan hukum. Persoalan mandeknya pemberantasan korupsi di Indonesia
ternyata bersifat lebih kompleks, yaitu tidak hanya menyangkut konten kebijakan
dan penataan peraturan perundangan yang mengatur mengenai pemberantasan korupsi itu sendiri, namun juga
faktor-faktor lain yang berpengaruh
langsung pada rantai perumusan kebijakan itu sendiri. Itikad politik yang kuat
perlu menjadi landasan agar kebijakan pemberantasan korupsi mendapat legitimasi
yang cukup dan efektif, namun sayangnya
political will masih lemah. Hal ini diindikasikan ketika penegakan hukum
atas tindak pidana korupsi yang melibakan kelompok elit dan nama besar akan
sangat sulit dilakukan. [4]
Pemberantasan
korupsi merupakan salah satu agenda penting dari pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN. Bahkan pemberantasan korupsi
juga merupakan agenda di tingkat regional dan internasional. Ini dibuktkan
dengan banyaknya lembaga-lembaga internasional yang turut menegaskan
komitmennya untuk bersama-sama memerangi
korupsi. Salah satu penghambat kesejahteraan negara berkembang pun disinyalir
akibat dari praktek korupsi yang eksesif, baik yang melibatkan aparat di sektor
publik, maupun yang melibatkan masyarakat yang lebih luas. Indikasi tetap
maraknya praktek korupsi di negara ini dapat terlihat dari tidak kunjung
membaiknya angka persepsi korupsi. Beberapa survei yang dilakukan oleh lembaga
independen internasional lainnya juga membuktikan fakta yang sama, walaupun
dengan bahasa, instrumen atau pendekatan yang berbeda. Situasi ini jelas
memprihatinkan banyak pihak.
Upaya
pemberantasan korupsi melibatkan semua pihak, semua sektor dan seluruh komponen
perumus kebijakan baik itu pemerintah dan penyelenggara negara lainnya, tidak
terkecuali anggota masyarakat secara umum. Hal ini karena praktek korupsi bukan
merupakan monopoli perilaku dari pegawai atau pejabat pemerintah saja, tetapi
merupakan justru perilaku kolektif yang melibatkan hampir semua unsur dalam
masyarakat. Sederhananya, supply tidak akan terjadi kalau tidak ada demand. Praktek korupsi hanya mungkin terjadi
apabila sistem formal memberi celah/peluang ke arah sana, selain didukung oleh
perilaku stakehorlder dan shareholder yang komplementer.
Pada umumnya kita cenderung menganggap korupsi tidak ada,
atau cenderung tidak mengindahkannya. Memang benar, sulit untuk melihat apakah
korupsi ada atau tidak, karena korupsi berlangsung dalam selubung kerahasiaan.
Selain itu menurut Aristoteles, kesulitan ini juga karena ”hal yang biasa
terjadi sehari-hari mendapat perhatian paling kecil dari masyarakat”.
Namun, kita harus membangkitkan dorongan yang lebih kuat
dalam diri kita masing-masing untuk membasmi korupsi. Zaman informasi telah
membuka peluang bagi masyarakat dan organisasi non-pemerintah mendapatkan
alat-alat untuk menyusun kekuatan dan informasi untuk membasmi korupsi di
tingkat lokal.
Gerakan menuju desentralisasi, akuntabilitas, dan
bentuk-bentuk pemerintah berdasarkan demokrasi di tingkat lokal semakin
bergairah. Dalam hubungan ini kerugian besar yang ditimbulkan korupsi semakin
banyak dibicarakan dalam masyarakat. Masyarakat luas juga mengharapkan melalui prinsip
good governance dapat mengkikis habis semua perbuatan yang merugikan
kepentingan umum yang terjadi dalam pemerintahan. Korupsi adalah simbol dari
pemerintahan yang tidak benar, yang dicerminkan oleh patronese, prosedur
berbelit-belit, unit pemungut pajak yang tidak efektif, pengurusan lisensi,
korupsi besar-besaran dalam pengadaan barang dan jasa, dan layanan masyarakat
yang sangat buruk.[5]
Prinsip good governance ini berawal dari rasa ketakutan
sebagian masyarakat terhadap kebebasan bertindak dari pajabat negara dalam
menjalankan tugasnya. Pada mulanya asas ini mendapat tantangan khususnya dari
pejabat-pejabat dan pegawai pemerintah karena ada kekuatiran bahwa hakim atau
peradilan administrasi kelak akan mempergunakan istilah ini untuk memberikan
penilaian terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diambil pemerintah. Namun
keberatan tersebut saat ini telah lenyap karena tidak ada relevansinya lagi.
Freies Ermessen tetap dapat dilaksanakan pemerintah dalam melakukan fungsinya,
bahkan untuk masa sekarang asas-asas umum pemerintahan yang baik itu telah
diterima dan dimuat dalam berbagai peraturan undang-undangan.[6]
Beberapa unsur pemeritahan yang baik, yang telah memperoleh
tempat yang layak dalam peraturan perundang-undangan di beberapa negara antara
lain:
- Asas bertindak cermat;
- Asas motivasi;
- Asas kepastian hukum;
- Asas kesamaan dalam mengambil
keputusan;
- Asas meniadakan akibat-akibat
suatu keputusan yang batal;
- Asas menanggapi penghargaan
yang wajar;
- Asas kebijaksanaan;
- Asas tidak mencampuradukkan
kewenangan;
- Asas keadilan dan kewajaran;
- Asas penyelenggaraan
kepentingan umum;
- Asas keseimbangan;
- Asas permainan yang layak;
- Asas perlindungan atas
pandangan hidup (cara) hidup pribadi.[7]
Perumusan dan penetapan asas-asas tersebut di atas
berpangkal pada teori-teori hukum umumnya dan yurisprudensi serta norma-norma
yang hidup dalam masyarakat. Apabila asas-asas ini digunakan oleh hukum
Indonesia, maka asas ini tidak boleh terlepas dari norma-norma hukum yang hidup
dalam masyarakat Indonesia.
Namun demikian, terlepas dari istilah, asas-asas itu
sesungguhnya secara materiel telah terdapat dalam berbagai peraturan
perundang-undangan dan yurisprudensi. Karena itu Asas Umum Pemerintahan Yang
Baik (AUPB) tersebut, tidak saja mempunyai kekuatan mengikat secara moral dan
doktrinal9 tetapi lebih dari asas umum pemerintahan yang baik juga mempunyai
kekuatan mengikat secara hukum, dan merupakan salah satu sumber Hukum
Administrasi Negara (HAN) formal. Undang-undang sebagai salah satu sumber HAN
formal maksudnya bukan hanya undang-udang dalam arti formal, tetapi mencakup
semua undang-undang dalam arti materiel yaitu produk hukum yang mengikat
seluruh penduduk secara langsung.[8]
Korupsi itu bukan merupakan kejahatan kalkulasi,
dan bukan kejahatan orang bodoh, karena korupsi merupakan kejahatan rasional,
orang akan melakukan korupsi jika keuntungan banyak dan resikonya kecil. Di
Indonesia peluang ini terbuka lebar, tidak ada hukuman yang jelas, tidak ada
ancaman untuk dikucilkan, dicemohkan. Acaman hukuman menjadi tidak jelas karena
pengadilan sudah dikuasai oleh para mafia, hukum selalu dan diperjual belikan
putusan pengadilan selalu dimenangkan oleh penawar yang lebih tinggi.
[1] Hamzah, Andi. Korupsi di Indonesia,
Masalah dan Pemecahannya, (Jakarta: Gramedia, 1991).
[2] Ibid,
[3] Hamzah, Andi. Korupsi di Indonesia,
Masalah dan Pemecahannya, (Jakarta: Gramedia, 1991).
[4] Philipus M. Hadjon, Perlindungan
Hukum Bagi Rakyat Indonesia (Bina Ilmu, Surabaya, 1987), hlm.77.
[5] Hamzah, Andi. Korupsi di Indonesia,
Masalah dan Pemecahannya, (Jakarta: Gramedia, 1991).
[6] Hamzah, Andi. Korupsi di Indonesia,
Masalah dan Pemecahannya, (Jakarta: Gramedia, 1991).
[7] Ridwan, HR., Hukum
Administrasi Negara, (Yogyakarta: UII Press, anggota IKAPI, 2002), hlm 201
[8] Narbun SF & Nuh. Mahfud,
Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Leberty (Yogyakarta, 1987), hlm. 58-59.
PENGAWASAN DAN KORUPSI DALAM PERSPEKTIF HAN
Reviewed by Unknown
on
Sunday, March 04, 2012
Rating:
No comments: