BREAKING NEWS

SELAMAT DATANG DI BLOG SAYA <<< "BAPAPADAHAN" >>>

POENALE SANCTIE



Akibat ditandatanganinya “Traktat Siak” tahun 1858, daerah-daerah taklukan Kesultanan Siak diserahkan kepada Belanda.
Sejak saat itu, pemodal dari Belanda, Inggris dan Amerika masuk untuk membuka usahanya di daerah yang subur dan kaya itu. Salah satu bidang yang diutamakan adalah perkebunan tembakau yang dipusatkan di Deli (Sumatera).[1]
Salah satu kendala dalam pengembangan perkebunan di Sumatera adalah sulitnya diperoleh tenaga kerja. Buruh perkebunan harus didatangkan dari luar daerah, yang memakan biaya yang tidak sedikit. Para pengusaha tentunnya berupaya sedemikian rupa agar buruh yang telah di datangkan tidak ingkar janji dalam melaksankan pekerjaan mereka dan tetap tinggal untuk menjalankan kewajibannya itu dalam jangka waktu tertentu. Hal ini dapat dilihat dalam “Bintang Betawi”, 10 september 1870 yang memberitakan:
“Toean kebon dari Deli dapat roegi, koeli-koeli dari onderneming Brahrang lari sebloem kirdja di moelai. Adoeh roeginja! Soedah keloear oeang, koeli-koeli lari poela”.[2]
Untuk itu, pemerintah Hindia Belanda kemudian mengeluarkan peraturan baru yang mendukung dan menjamin agar para pemilik perkebunan dapat memperoleh, mempekerjakan dan mempertahankan kuli yang bekerja di pekerbunan mereka sesuai dengan kebutuhan.

A.    Sistem Koeli Ordonantie (Poenale Sanctie) dan Lahirnya

Sistem Koeli Kontrak yang diberlakukan dianggap sebagai pilihan yang paling logis sebab pemerintah Hindia Belanda telah melarang penjualan budak-budak dimuka umum pada tahun 1854 dan kemudian menghapus perbudakan dari Hindia Belanda pada tahun 1860.
Poenale sanctie atau sanksi hukum pada mulanya merupakan suatu aturan yang diadakan untuk pembantu rumah tangga di Jawa (1872). Namun, dengan dibukanya perkebunan di luar Jawa, aturan tersebut dilaksanakan juga di luar Jawa. Dalam aturan tersebut, ditetapkan apabila seseorang telah menandatangani perjanjian kerja dan ia melakukan kesalahan, dianggap telah menyalahi isi perjanjian sehingga ia layak untuk mendapat sanksi.[3]
Pada umumnya, bangsa Indonesia tidak mengetahui isi perjanjian yang ditulis oleh Belanda. Hal ini karena pada umumnya rakyat Indonesia buta huruf  latin dan hanya membubuhkan cap jari sebagai tanda persetujuan. Rakyat Indonesia tersebut pada umumnya telah terjerat oleh calo-calo pekerja di Deli (Sumatra) karena mereka telah diberi uang, pakaian, dan dibawa ke Deli. Mereka diwajibkan bekerja dari pagi sampai sore untuk membuka hutan yang penuh dengan bahaya dan penyakit. Oleh karena itu, mereka yang tidak kuat akan melarikan diri, tetapi polisi Belanda selalu dapat menangkap dan menyerahkan kembali kepada pengusaha perkebunan. Mereka dijatuhi hukuman siksa yang kejam sebagai sanksi melanggar perjanjian. Pelaksanaan yang menyimpang dan kejam itu dicabut tahun 1876.
Untuk keperluan itulah, bangsa kolonial mendatangkan tenaga kerja dari luar wilayah tersebut, seperti dari semanjung Melayu dan pulau Jawa. Kerja kuli itu berdasar koelie ordonnantie, yang diundangkan dalam Staatsblad 1880 No.133 oleh penguasa kolonial. Dalam peraturan ini setiap hubungan kerja harus di lakukan dengan kontrak tertulis dan kontrak kerja serta kontrak itu tidak dapat diakhiri oleh sang kuli. Bila kuli berusaha melarikan diri dari tempat kerja mereka akan dikenakan hukuman yang dikenal sebagai poenale sanctie, yaitu sanksi hukuman yang diberikan bila para kuli itu melanggar kontrak.[4]
Hukuman bisa berupa denda, hukuman atau penjara oleh majikannya. Artinya, berat dan ringannya hukuman tergantung pada kemauan majikan. Penderitaan para tenaga kerja (kuli) pun semakin berat, yaitu dapat berupa hukum cambuk untuk buruh laki-laki hingga di bunuh – Jacobus Nienhuys, pemilik Deli Maatschappij, menghukum cambuk 7 kulinya hingga mati, hal ini membuat dia pergi tergesak-gesak dari Sumatera Timur.[5]
Staatsblad 1880 ini kemudian diubah dalam Staatsblad 1889 No. 138 yang diundangkan pada tanggal 13 Juli 1889. Peraturan ini memuat aturan baru untuk buruh yang berasal dari kepulauan lain di Hindia Belanda, sedangkan bagi buruh yang berasal dari luar negeri tetap berlaku peraturan yang lama.
Antara tahun 1889 sampai 1911, terjadi 2 kali perubahan peraturan, yakni di tanggal 11 Maret 1891 No. 17 serta tanggal 19 januari 1897 No. 46. Kemudian dalam Staatsblad 1911 pembatasan mengenai penerapan Poenale Sanctie dilakukan melalui aturan yang dibuat dalam No. 540 tanggal 3 Oktober 1911.[6]
Peraturan ini kemudian beberapa kali dirubah dan dilengkapi yakni Staatsblad 1917 No. 497, Staatsblad 1920 no. 535, Staatsblad 1921 No. 39 dan Staatsblad 1925No. 201 dan No. 311. Namun diubah kembali melalui Besluit 27 Desember 1927 No. 11. Meskipun koeli ordonantie telah diubah dengan peraturan-peraturan pelengkap yang banyak sekali jumlahnya, namun inti dari ordonantie ini tetap tidah berubah, tetap menjalankan apa yang digariskan dalam Staatsblad 1889 No. 133 jo 1897 No. 46.[7]
Dalam peraturan tersebut tiga pihak yang diwajibkan mematuhi peraturan ini yaitu pengusaha, kuli dan pejabat pengawasanya tidak terbiasa dengan adanya peraturan yang mengatur hak dan kewajiban itu. Para pejabat tidak memiliki pandangan yang tetap mengenai isi dari peraturan tersebut. Namun pemerintah Hindia Belanda ketiika itu berpendapat bahwa setelah peraturan ini dikeluarkan maka penangangan maupun kondisi tenaga kerja semakin membaik.[8]

B.     Peraturan Perburuhan Sebelum 1880

Campur tangan penguasa terhadap pencarian tenaga kerja mulai muncul ketika pemerintah Belanda mendorong bergeraknya modal swasta ke Hindia Belanda. Campur tangan ini semakin meluas dan persoalan tenaga kerja murah juga menjadi salah satu yang terpenting di bidang politik dalam negeri.
Pada tahun 1872 diundangkanlah Peraturan Hukuman Pidana Umum bagi orang-orang pribumi di Hindia Belanda dalam Staatsblad no. 111 tahun 1872. Pasal 2 nomor 27 peraturan tersebut menyebutkan pekerja pribumi dalam kasus tertentu terkena hukuman apabila tanpa persetujuan majikannya meninggalkan perkebunan atau menolak bekerja.[9]
Peraturan ini merupakan peraturan penganti dari titah Sultan Deli yang menyerahkan kekuasaannya untuk mengadili pekerja yang mangkir atau menentang tuannya kepada pengusaha. Pengalihan kekuasaan ini menyebabkan kekuasaan tuan kebun bersifat mutlak dan menimbulkan kerja paksa.
Pada tahun 1873, mulai berlaku peraturan kepolisian yang baru yaitu bahwa buruh bisa dihukum apabila memutuskan kontrak tanpa memperhatikan tenggang waktu yang pantas atai menolak bekerja. Pada saat itu sebenarnya secara resmi, tuan kebun telah kehilangan wewenang untuk menghukum sendiri kuli-kuli yang bersalah. Rumusan peraturan ini, meskipun amat kabur dan sewenang-wenang, masih dirasakan kurang memenuhi kebutuhan para tuan kebun, sebab belum adanya ketentuan yang mengharuskan si pelanggar kembali kepada majikannya.[10]

C.    Hak dan Kewajiaban Buruh dalam Koeli Ordonantie (Poenale Sanctie)

Sebagimana diterangkan di atas, sejak tahun 1880, kuli-kuli yang bekerja di perkebunan-perkebunan di Deli telah diikat dengan kontrak. Hukuman pidana yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda terhadap kuli-kuli yang mangkir dalam menjalankan tugasnya di perkebunan bukan tidak melahirkan pertentangan, namun dalam Majelis Rendah Negeri Belanda disebutkan bahwa :
“Dasar tidak ditaatinya kontrak kerja oleh orang pribumi, di mana dia wajib melakukan pekerjaan bagi orang lain, memang tidak perlu harus menjadi kenyataan pidana, namun hal ini tidak dapat diterima bila diterapkan pada kuli yang didatangkan dari tempat lain. Bila kuli-kuli ini tidak menjalankan tugasnya, mak mereka bisa dikenakan tindakan pidan. Dalam hal pengecualian ini, harus dilaksanakan dengan peraturan yang diatur oleh pemerintah. Mengingat perusahaan perkebunan di luar Jawa yang mengalami kesulitan dalam pengadaan tenaga kerja dalam jumlah yang memadai dan cocok bagi kerja perkebunan. Untuk itu pekerja ditarik dari tempat lain dan diangkat ke perkebunan”.[11]  
Pada setiap kontrak harus dicantumkan nama kuli, nama perkebunan tempat akan bekerja, jenis pekerjaan, cara pembayaran upah, kewajiban dan hak dari pekerja dan majikan. Hal ini tercantum dalam pasal 2 dan 3 dari Staatsblad 1880 No. 133.[12]
Pada dasarnya ordonansi ini memberikan hak dan kewajiban kepada pekerja dan majikan. di dalam kontrak tertera masa kerja kuli yakni sepuluh jam kerja setiap harinya, dengan ikatan kontrak selama-lamanya 3 tahun. Kontrak harus pula dilakukan dengan sukarela. Di dalam kontrak itu juga tergaris mengenai kewajiabn buruh yang harus dengan setia melaksanakan apa yang dibebankan kepadanya. Buruh tanpa izin tertulis tidak boleh meniggalkan perkebunan, izin mana tidak dapat diberikan kepada lebih dari tiga orang kuli secara sekaligus. Bila majikan menolak memberikan izin, maka majikan dinyatakan bersalah melanggar pasal 5 dan dapat di denda maksimal 100 golden.[13]
Kewajiban kuli untuk mematuhi tuan kebun dimana ia bekerja dapat dilihat dalam pasal 4, kemudian kewajiban pengusaha atas kuli dituangkan dalam pasal 5 dan pasal 7.[14]
Dari peraturan diatas dapat dilihat bahwa hukuman yang diberikan kepada pengusaha yang melanggar kewajiabannya, hanyalah hukuman denda. Sedangkan bagi kuli kontrak dikenakan hukuman kerja paksa tanpa upah. Hukuman kerja paksa untuk kuli kontrak dituangkan dalam pasal 9, 10, 11, 12 dan 13. Hukuman terhadap tidak dipatuhinya kontrak kerja ini kemudian diperketat, dituangkan dalam Besluit  tanggal 11 Maret 1891 no. 17.[15]
Pasal-pasal diatas menunjukan bahwa hukuman yang dikarenakan terhadap kuli adalah hukuman badan berupa kerja paksa dalam waktu tertentu, sedangkan hukuman untuk pengusaha hanya dikenakan denda atau hukuman kurungan selama-lamanya delapan hari.
Peraturan ini juga tidak menyebutkan kewajiban majikan atas pembiayaan dan perawatan para kuli yang dikirim kembali.



[1] Waluyo, Gerakan Ilmu Pengetahuan Sosial: Kelas VII untuk SMP/MTS. (Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2008), hlm. 178
[2] “Deli”, Bintang Betawi, 10 September 1870, dalam T. Keizerina Devi, Poenale Sanctie “Studi Tentang Globalisasi Ekonomi dan Perubahan Hukum di Sumatera Timur (1870-1950)”. (Universitas Sumatera Utara & Universitas Indonesia, Jakarta, 2004), hlm. 101
[3] Waluyo, Gerakan Ilmu Pengetahuan Sosial: Kelas VII untuk SMP/MTS. (Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2008), hlm. 179
[4] Edi Cahyono, Gerakan Serikat Buruh: Jaman Kolonial Hindia Belanda Hingga Orde Baru. (Hasta Mitra, Penerbit buku bermutu, 2005), hlm. 8
[5] Edi Cahyono, Ibid.
[6] T. Keizerina Devi, Poenale Sanctie “Studi Tentang Globalisasi Ekonomi dan Perubahan Hukum di Sumatera Timur (1870-1950)”. (Universitas Sumatera Utara & Universitas Indonesia, Jakarta, 2004), hlm. 104 - 105
[7] T. Keizerina Devi, Ibid, hlm. 105
[8] R. Broersma, Oostkust van Sumatra, (Batavia: De Javasche Boekhandel Landsdrukkerij, 1919), hlm. 250 dalam T. Keizerina Devi, Ibid, hlm. 110
[9] T. Keizerina Devi, Ibid, hlm. 103
[10] T. Keizerina Devi, Poenale Sanctie “Studi Tentang Globalisasi Ekonomi dan Perubahan Hukum di Sumatera Timur (1870-1950)”. (Universitas Sumatera Utara & Universitas Indonesia, Jakarta, 2004), hlm. 105
[11] Paulus, J., Encyclopaedie van Nederlandsch Indie Jilid 7, (Gravenghage: Martinus Nijhoff, 1935), hlm. 400, dalam T. Keizerina Devi, Ibid, hlm. 111
[12] T. Keizerina Devi, Ibid, hlm. 112
[13] T. Keizerina Devi, Ibid, hlm. 113
[14] T. Keizerina Devi, Ibid, hlm. 114
[15] T. Keizerina Devi, Ibid, hlm. 115-116
POENALE SANCTIE POENALE SANCTIE Reviewed by Unknown on Sunday, March 04, 2012 Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.