HAK ATAS DERAJAT PELAYANAN KESEHATAN YANG OPTIMAL
Oleh: Rif'atul Hidayat Noor
PENGANTAR
Di Indonesia hukum memegang peran penting dalam berbagai
segi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Salah satunya yaitu di bidang
kesehatan, kesehatan
merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Membicarakan hak asasi manusia (HAM)
berarti membicarakan dimensi kehidupan manusia. HAM, ada bukan karena diberikan
oleh masyarakat dan kebaikan dari Negara, melainkan berdasarkan martabatnya
sebagai manusia. Pengakuan atas eksistensi manusia menandakan bahwa manusia
sebagai makhluk hidup adlaah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah SWT patut
memperoleh apresiasi secara positif.[1]
Dalam mewujudkan derajat kesehatan yang optimal
bagi setiap orang, yang
merupakan bagian dari kesejahteraan, diperlukan dukungan hukum bagi penyelenggaraan
di bidang kesehatan. Hak atas derajat kesehatan yang optimal
akan semakin kuat klaimnya jika dijustifikasi dengan jalan mengaitkannya dengan
hak hidup, berhak atas hidup ekivalen dengan berhak atas derajat kesehatan yang
optimal.[2] Pada mulanya upaya penyelenggaraan kesehatan hanya berupa upaya pengobatan penyakit
dan pemulihan kesehatan.
Kemudian secara berangsur-
angsur berkembang
kearah kesatuan pada upaya pembangunan kesehatan yang
menyeluruh, terpadu dan
berkesinambungan yang
mencakup
upaya
promotif (peningkatan), preventif (pencegahan), kuratif (penyembuhan) dan rehabilitatif (pemulihan).
Upaya penyelenggaraan kesehatan sebagaimana dimaksud di atas, dipengaruhi oleh faktor lingkungan sosial budaya, termasuk ekonomi,
lingkungan fisik dan biologis yang
bersifat dinamis dan kompleks. Menyadari betapa luasnya hal tersebut, pemerintah
melalui sistem kesehatan nasional, berupaya menyelenggarakan kesehatan yang bersifat
menyeluruh,
terpadu, merata, dan dapat diterima serta terjangkau oleh seluruh lapisan
masyarakat luas, guna mencapai derajat kesehatan yang optimal.[3]
Dalam hal program pembanguan nasional di bidang kesehatan yang diupayakan
untuk meningkatkan derajat kesehatan melalui pengembangan dan pemantapan semua kebijaksanaan dalam sistem kesehatan nasional yang mencerminkan upaya pemerintah untuk membela hak-hak pasien selaku konsumen dalam pelayanan kesehatan, peningkatan derajat kesehatan merupakan suatu konsekwensi logis terhadap mutu
pelayanan kesehatan yang menyeluruh dan terpadu
sehingga mutu pelayanan dan
penyediaan fasilitas pada setiap rumah sakit harus dirasakan oleh semua pihak dengan perasaan yang lega.
Kemampuan manajemen kesehatan yang
merupakan kunci dari keberhasilan pembangunan kesehatan pada saat ini belum sepenuhnya memadai. Beberapa hal yang menjadi
faktor penyebabnya adalah masih
belum memadainya sistem informasi kesehatan untuk diserbarluaskan kepada masyarakat, integrasi pelayanan kesehatan yang belum berjalan dengan baik, dan belum mantapnya pengendalian dan pengawasan serta
penilaian program
yang ditetapkan. Umumnya sorotan tersebut lebih ditujukan pada
kekurangan pihak dokter dalam memenuhi hak-hak pasien, pemeriksaan dokter yang
tidak tepat waktu, kurangnya informasi
medis yang diberikan kepada pasien, prosedur
pelayanan yang menyulitkan konsumen (pasien), perlakuan para medis yang diskriminatif antara yang kaya dan yang miskin, pelayanan dokter yang tidak tepat waktu akhirnya
terdapat pasien yang meninggal sebelum mendapat pertolongan dan lain-lain.
Pada dasarnya kesalahan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan profesi medis, merupakan suatu hal yang penting untuk dibicarakan,
hal ini disebabkan karena akibat kesalahan atau kelalaian tersebut mempunyai
dampak yang sangat merugikan. Selain merusak atau mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap
profesi kedokteran juga
menimbulkan kerugian pada pasien.[4]
Namun demikian untuk mengetahui seorang dokter
melakukan malpratik atau tidak maka dapat dilihat dari unsur standar profesi kedokteran.
Standar profesi merupakan batasan kemampuan yang meliputi
pengetahuan (knowledge),
keterampilan (skill performance) dan sikap profesionalitas (professional attitude) minimal yang
harus dikuasai oleh seorang dokter untuk dapat melakukan kegiatan profesionalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi.[5]
Dari uraian diatas
menerangkan, bahwasanya setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan
kesehatan yang aman, bermutu, dan terjaukau. Sesuai dengan pasal 5 ayat (2) UU
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yaitu :[6]
“Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang
aman, bermutu, dan terjangkau”.
RUMUSAN MASALAH
Dalam hal ini penulis
mempunyai rumusan masalah yang akan dibahas, bagaimana kewajiban pemerintah
atas hak pelayanan kesehatan yang optimal?
PENGERTIAN HAK
ATAS KESEHATAN
Sejak
kesehatan diakui sebagai sebagai salah satu hak asasi manusia, dalam
penerapannya terdapat berbagai
pengertian. Hal tersebut tidak terlepas dari pengertian ”kesehatan”. Kesehatan menurut Undang-Undang Nomor 36
tahun 2009 Tentang Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental,
spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap prang untuk hidup produktif
secara sosial dan ekonomis.[7]
Pengertian
yang luas itu berpengaruh bagi pemahaman terhadap kesehatan sebagai hak asasi
manusia. Dalam Pasal 4 Undang-undang kesehatan ditegaskan bahwa “Setiap orang berhak atas kesehatan”,
sedangkan Pasal 28 H Undang-Undang Dasar
1945, menegaskan bahwa ”Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan”.[8]
Dalam
kepustakaan kesehatan, terdapat berbagai istilah yang digunakan untuk menyebut
hak asasi manusia di bidang kesehatan, seperti “hak asasi atas kesehatan” (Human Right to Health), atau “hak atas
kesehatan”(Right to Health), atau
“hak memperoleh derajat kesehatan yang optimal” (The Right to Attainable Standard To Health).[9] Hukum
berkepentingan bukan pada istilah,
melainkan pada makna yang terkandung dalam istilah tersebut. Apalagi setelah
UUD 45 memberikan jaminan konstitusional terhadap hak atas kesehatan, mengenali
hak tersebut secara benar menjadi sangat penting bagi hukum.
Sejalan
dengan perkembangan hak asasi manusia yang dinamis, suatu hak asasi manusia
cenderung melahirkan hak-hak baru atau melahirkan pengertian yang baru. Sebagai
contoh, hak atas pekerjaan yang semula merupakan spesifikasi dari hak atas
kesejahteraan, kemudian melahirkan hak baru yang lebih spesifik yaitu hak mendapatkan upah
yang layak. Demikian pula halnya dengan hak atas kesehatan, pada awalnya hanya
berkaitan dengan perawatan kesehatan (medical care), tetapi kemudian
berkembang meliputi berbagai aspek baik individu maupun kesehatan masyarakat dan lingkungan.
Hak atas kesehatan dalam hubungan dengan kategori hak asasi
manusia, sering dimasukkan dalam hak asasi manusia generasi kedua dan hak asasi manusia generasi
ketiga. Apabila hak atas kesehatan tersebut dikaitkan dengan “kesehatan
individu”, dia masuk ke dalam hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, tetapi jika
terkait dengan “kesehatan masyarakat”, dia masuk ke dalam hak atas pembangunan.
Menurut Muladi, kategori hak asasi manusia generasi ketiga diberikan kepada
hak-hak kolektif atas dasar solidaritas antar umat manusia berlandaskan rasa persaudaraan dan
solidaritas yang sangat dibutuhkan. Hak asasi manusia
ini mencakup antara lain “the right to development; right to peace; and the
right to healthy and balanced environment”.[10]
Pemahaman kategori hak asasi manusia tersebut tidak boleh bersifat “fragmented” karena
akan menimbulkan stratifikasi kualitas. Padahal maksudnya hanyalah untuk
memudahkan identifikasi.Perlakuan terhadap hak asai manusia di samping
universal, harus bersifat “indivisible and interdependent”.[11]
Jadi hak
atas kesehatan sebagai suatu hak asasi manusia adalah suatu pengertian ”genus”,
yang merupakan rangkaian dari sekelompok hak-hak spesifik.
Kesehatan adalah salah satu kebutuhan
dasar manusia.Begitu pentingnya, sehingga sering dikatakan bahwa kesehatan
bukan segala-galanya, tetapi tanpa kesehatan segala-galanya tidak bermakna.
Setelah lebih dari 68 tahun merdeka,
kondisi kesehatan di Indonesia belum menunjukkan kemajuan yang berarti.
Terlepas dari indikator yang
digunakan oleh kedua lembaga tersebut, derajat kesehatan telah cukup lama
dipahami sebagai salah satu hak asasi manusia yang harus dilindungi dan
dipenuhi oleh negara. Di kalangan ahli kesehatan di Indonesia, telah berkembang pemikiran untuk
memasukkan kesehatan sebagai bagian dari “hak asasi manusia”, serta memperoleh jaminan konstitusi. Dengan jaminan konstitusi
diharapkan perhatian Negara, dalam hal ini Pemerintah, akan jauh lebih besar terhadap pembangunan
bidang kesehatan, sehingga kondisi kesehatan di Indonesia akan membaik.
Pemikiran itu terus berkembang dalam berbagai seminar dan diskusi sampai
akhirnya pada tingkat regulasi.
Sesungguhnya jaminan konstitusi
terhadap hak atas kesehatan telah ada sejak masa Konstitusi Republik Indonesia
Serikat (RIS) tahun 1949. Dalam
Pasal 40 Konstitusi RIS terdapat ketentuan
yang menyatakan, “Penguasa senantiasa berusaha dengan sunguh-sungguh
memajukan kebersihan umum dan kesehatan rakyat”.[12]
Setelah bentuk negara serikat kembali ke bentuk negara kesatuan dan berlakunya
Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS), ketentuan Pasal 40 Konstitusi RIS di adopsi ke dalam
Pasal 42 UUDS.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada
tahun 1948 telah menetapkan Universal Declaration of Human Rights, yang
di dalamnya mengatur hak atas kesehatan. Dalam Pasal 25 ayat (1) dinyatakan:
“Setiap
orang berhak atas taraf hidup yang menjamin kesehatan dan kesejahteraan untuk
dirinya dan keluarganya, termasuk pangan, pakaian, perumahan dan perawatan
kesehatan…” [13]
Sejalan dengan itu, Konstitusi World Health Organization (WHO) 1948
telah menegaskan pula bahwa “memperoleh derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya adalah suatu hak asasi bagi setiap orang” (the enjoyment of the highest attainable
standard of health is one of the fundamental rights of every human being). Istilah
yang digunakan bukan “human rights”,
tetapi “fundamental rights”, yang
kalau kita terjemahkan langsung ke Bahasa Indonesia menjadi “Hak hak Dasar”.
Gagasan hak atas kesehatan sebagai
hak asasi manusia terus berkembang baik dalam hukum nasional maupun hukum
intenasional. Dalam Pasal 4 Undang-undang Nomor 36 tahun 2009 Tentang Kesehatan
dinyatakan, “Setiap orang berhak atas kesehatan”. Sementara itu dalam
Hukum Internasional telah dikembangkan berbagai instrumen hak asasi manusia,
antara lain Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (International Covenant on Economic, Social
and Cultural Rights) yang ditetapkan pada tahun 1966. Dalam Pasal 12 ayat
(1) Kovenan tersebut dinyatakan bahwa “setiap orang mempunyai hak untuk
menikmati standar tertinggi yang dapat dicapai
atas kesehatan fisik dan mental”.[14]
Akhirnya pada tahun 2000, melalui
Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945,
kesehatan ditegaskan sebagai bagian dari hak asasi manusia. Dalam Pasal
28 H ayat (1) dinyatakan, bahwa :
“Setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapat
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan.”
Masuknya
ketentuan tersebut ke dalam Undang-Undang Dasar 1945, menggambarkan perubahan
paradigma yang luar biasa. Kesehatan dipandang tidak lagi sekedar urusan
pribadi yang terkait dengan nasib atau karunia Tuhan yang tidak ada hubungannya
dengan tanggung jawab negara, melainkan suatu hak hukum (legal rights).
Memuat
ketentuan jaminan hak asasi manusia, termasuk hak atas kesehatan, ke dalam
Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sebuah komitmen politik Negara, hal ini
mungkin telah menyelesaikan berbagai tuntutan politik dan harapan rakyat, tetapi dari perspektif hukum tata negara, hal tersebut masih
mengandung persoalan. Persoalan utama terkait dengan beragamnya batasan atau
definisi hak atas kesehatan, padahal batasan tersebut sangat penting bagi
kepastian hukum. Tanpa batasan yang
jelas, akan sulit menentukan ruang lingkup tanggung jawab negara sebagaimana
yang ditegaskan dalam UUD 1945.
HAK ATAS DERAJAT PELAYANAN KESEHATAN
YANG OPTIMAL MERUPAKAN KEWAJIBAN PEMERINTAH
Landasan utama bahwa perlindungan HAM
merupakan kewajiban pemerintah adalah prinsip demokrasi bahwa sesungguhnya
pemerintah diberi amanah kekuasaan adalah untuk melindungi hak-hak warga
negara. Terlebih lagi dengan konsep negara kesejahteraan (welfare state)
sebagai konsep negara modern telah memberikan kekuasaan lebih besar pada pemerintah
untuk bertindak. Kekuasaan ini semata-mata adalah untuk memajukan dan mencapai
pemenuhan hak asasi manusia. Pemerintah tidak lagi hanya menjaga agar seseorang
tidak melanggar atau dilanggar haknya, namun harus mengupayakan pemenuhan
hak-hak tersebut. Demikian pula dengan hak atas kesehatan, merupakan kewajiban
pemerintah untuk memenuhinya.
Dalam pasal 9 ayat (1) UU Kesehatan
dinyatakan, bahwa “Setiap orang
berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya”. Ayat (2) menegaskan, bahwa “Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), pelaksanaannya meliputi upaya kesehatan perseorangan, upaya kesehatan
masyarakat, dan pembangunan berwawasan kesehatan”.[15]
Seperti yang dikemukakan, kesehatan sebagai hak asasi manusia
tidak terlepas dari ciri-ciri hak asasi manusia, yaitu “hak” dalam arti yang
sesungguhnya dan bersifat prima
facie. Kalaupun ada kewajiban yang melekat pada hak
asasi manusia, hal itu semata-mata sebagai
pembatasan agar pelaksanaan hak asasi manusia tersebut tidak melanggar hak asasi orang lain. Apabila
ketentuan Pasal 9 Undang-undang tersebut dimaknai demikian, kenapa kewajiban
itu tidak hanya ditujukan untuk memelihara kesehatan orang lain, tetapi juga
kesehatan perseorangannya ? Untuk menjelaskan hal ini penulis menggunakan
contoh seorang perokok. Sangat logis apabila seorang perokok dilarang merokok
di tempat umum karena akan mengganggu kesehatan orang lain. Dalam kasus ini
melekat kewajiban bagi diri si perokok, namun pada saat dia merokok sendiri
atau di tempat yang khusus untuk merokok, larangan tersebut menjadi tidak
logis.
Menurut
penulis, lebih mudah memahani kewajiban asasi dalam kontek tanggung jawab negara/
pemerintah untuk memenuhi hak asasi manusia. Dalam contoh di atas,
perokok yang sakit akibat merokok tidak dapat menuntut haknya kepada pemerintah atas derajat kesehatan yang
lebih baik, kecuali yang bersangkutan terlebih dahulu berhenti merokok.
Sungguhpun
demikian, suatu kewajiban asasi di
samping hak asasi manusia agak sulit diterima jika
menggunakan konsep hak asasi manusia menurut pikiran dunia barat, karena
kewajiban asasi berasal dari sumber yang berbeda. Ajaran-ajaran agama di dunia
telah melahirkan dua preposisi. Pertama, bahwa Tuhan menciptakan alam semesta
beserta seluruh isinya, termasuk manusia. Kedua, manusia sebagai mahluk ciptaan
Tuhan wajib mempertanggung jawabkan kepada Tuhan atas semua perbuatan dan tindakannya terhadap
sesama manusia.[16]
Kedua
preposisi tersebut terdapat dalam atau bersumer langsung dari petunjuk Ilahi,
seperti Taurat, Zabur, Injil dan Al-Qur’an, serta petunjuk-petunjuk lain yang
disampaikan melalui para Nabi. Dalam
Islam, kedua preposisi itu tergambar dalam ketegori huquuqullah dan huquuqul-’ibad.
Huquuqullah adalah kewajiban-kewajiban manusia terhadap Allah yang
diwujudkan dalam berbagai ritual ibadah, sedangkan huquuqul-’ibad (hak asasi manusia) merupakan kewajiban-kewajiban
manusia terhadap sesama dan makluk hidup lainnya.[17]
Kewajiban-kewajiban manusia tersebut dalam kepustakaan disebut sebagai (peri)
kemanusiaan (humanity).
Bagi
bangsa Indonesia, kedua preposisi tersebut bukan merupakan sesuatu yang asing,
bahkan merupakan bagian integral dari kehidupan bernegara. Dalam Pembukaan UUD 1945, alinea keempat,
memuat lima prinsip dasar yang berlaku dalam penyelenggaraan negara, yang dikenal sebagai Pancasila. Sila pertama
adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, dan Sila kedua adalah kemanusiaan yang adil dan
beradab.
Kata
kunci dari prinsip-prinsip kemanusiaan tersebut di atas adalah tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
What you do not wish
to be done to yourself, do not do to others.[18] Jadi kemanusiaan itu berkaitan dengan
hubungan sesama manusia. Hal itu agak berbeda dengan pemikiran dunia timur,
yang memandang kemanusiaan tidak hanya terbatas pada interaksi antar sesama
manusia, tetapi juga antara manusia dengan mahluk hidup lainnya. Pemahaman itu
sejalan dengan pendekatan magis-religius yang memandang interaksi
harmonis antar manusia beserta lingkungannya sebagai suatu keseimbangan makro
kosmis.
Jika
dilihat dari huquuqul-’ibad terdapat
dua macam hak asasi manusia. Pertama, hak asasi manusia yang keberadaannya
dapat diselenggarakan oleh suatu negara. Kedua adalah hak asasi manusia yang
keberadaannya tidak secara langung dapat dilaksanakan oleh suatu negara. Hak-hak yang pertama dapat disebut
sebagai hak-hak legal (legal rights),
sedangkan yang kedua dapat disebut sebagai hak-hak moral (moral rights).[19] Pada kedua jenis hak tersebut melekat
kewajiban-kewajiban, baik yang bersifat hukum (legal obligation) maupun
moral (moral obligation).
Kewajiban Pemerintah untuk memenuhi
hak atas kesehatan sebagai hak asasi manusia memiliki landasan yuridis
internasional dalam Pasal 2 ayat (1) Konvensi Internasional tentang Hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya yang ditetapkan oleh Majelis Umum PBB 2200 A (XXI)
tanggal 16 Desember 1966. Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa
perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah
tanggung jawab negara, terutama pemerintah.[20]
Kewajiban pemerintah ini juga ditegaskan dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 39
tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab
Pemerintah.[21]
Dibidang kesehatan, Pasal 14 ayat (1)
UU Kesehatan menyatakan bahwa “Pemerintah
bertanggung jawab merencanakan, mengatur,
menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang
merata dan terjangkau oleh masyarakat”. Pasal 15 UU Kesehatan menyatakan bahwa “Pemerintah bertanggung jawab atas
ketersediaan lingkungan, tantanan, fasilitas kesehatan baik fisik maupun social
bagi masyarakat untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya”.[22]
Upaya pemenuhan hak atas kesehatan
dapat dilakukan dengan berbagai macam cara yang meliputi pencegahan dan
penyembuhan. Upaya pencegahan meliputi penciptaan kondisi yang layak bagi
kesehatan baik menjamin ketersediaan pangan dan pekerjaan, perumahan yang baik,
dan lingkungan yang sehat. Sedangkan upaya penyembuhan dilakukan dengan penyediaan
pelayanan kesehatan yang optimal. Pelayanan kesehatan meliputi aspek jaminan sosial
atas kesehatan, sarana kesehatan yang memadai, tenaga medis yang berkualitas,
dan pembiayaan pelayanan yang terjangkau oleh masyarakat. Pasal 12 ayat (2)
Konvensi Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya menguraikan langkah-langkah
yang harus diambil untuk mencapai terwujudnya standar tertinggi dalam mencapai
kesehatan fisik dan mental adalah:[23]
(a)
Ketentuan
pengurangan tingkat kelahiran mati anak serta perkembangan anak yang sehat;
(b)
Peningkatan
semua aspek kesehatan lingkungan dan industri;
(c)
Pencegahan,
perawatan dan pengendalian segala penyakit menular endemik, penyakit yang
berhubungan dengan pekerjaan dan penyakit lainnya;
(d)
Penciptaan
kondisi-kondisi yang menjamin adanya semua pelayanan dan perhatian medis ketika
penyakit timbul.
UU tentang Kesehatan mengatur
berbagai macam upaya yang menjadi tanggung jawab pemerintah untuk mewujudkan
derajat kesehatan yang optimal. Secara umum, Pasal 47 UU Kesehatan menyatakan
bahwa “Upaya kesehatan diselenggarakan
dalam bentuk kegiatan dengan pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh, dan
berkesinambungan”. Dalam pasal 48 ayat (1) menyatakan Penyelenggaraan upaya
kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dilaksanakan melalui kegiatan:
- Pelayanan kesehatan;
- Pelayanan kesehatan tradisional;
- Peningkatan kesehatan dan
pencegahan penyakit;
- Penyembuhan penyakit dan
pemulihan kesehatan;
- Kesehatan reproduksi;
- Keluarga berencana;
- Kesehatan sekolah;
- Kesehatan olahraga;
- Pelayanan kesehatan pada
bencana;
- Pelayanan darah;
- Kesehatan gigi dan mulut;
- Penanggulangan gangguan
penglihatan dan gangguan pendengaran;
- Kesehatan matra;
- Pengamanan dan penggunaan
sediaan farmasi dan alat kesehatan;
- Pengamanan makanan dan minuman;
- Pengamanan zat adiktif; dan/atau
- Bedah mayat.[24]
untuk mewujudkan derajat kesehatan
yang optimal bagi masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan dengan pendekatan
pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit
(preventif), penyembuhan penyakit (kuratif), dan pemulihan kesehatan
(rehabilitasi) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan.
PENUTUP
Adanya
pengakuan baik menurut Hukum Nasional maupun Hukum Internasional terhadap hak
atas kesehatan tidak berarti masyarakat
mempunyai hak untuk sehat. Siapapun pada dasarnya tidak mampu menjamin suatu
kondisi kesehatan tertentu, baik Pemerintah maupun masyarakat. Kondisi kesehatan individu lebih banyak
dipengaruhi oleh faktor lingkungan tempat tinggal dan keturunan. Definisi-definisi hak atas
kesehatan yang digunakan dalam instumen-instrumen hak asasi manusia seperti yang telah
dikemukakan, umumnya mengacu pada
“derajat kesehatan tertinggi yang dapat dicapai” (the
highest attainable standard of health)
sebagai sasaran hak atas kesehatan. Oleh karena itu substansi hak atas
kesehatan sangat relatif, karena derajat tertinggi yang dapat dicapai tersebut
dapat bervariasi sesuai waktu dan tempat.
Dengan demikian, hak atas kesehatan mengandung dua aspek. Pertama, aspek kesehatan sebagai hak
individu yang melahirkan kewajiban pemerintah untuk memenuhinya. Kedua, aspek kesehatan masyarakat.
Kesehatan sebagai hak individu belum mendapat pengakuan secara umum dan masih
bersifat “dapat dikurangi” (derogable).
[1] Majda
El-Muthtaj, Hak Asasi Manusia dalam
Konstitusi Indonesia,Cek. 3, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2009),
hlm. 1
[2]
Titon Slamet Kurnia, Derajat Kesehatan
Optimal sebagai HAM di Indonesia, (Bandung, PT. Alumni, 2007), hlm. 46
[3] Bahder Johan Nasution, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, (Jakarta, PT. Rineke Cipta, 2005), hlm. 2
[6]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, hlm 6.
[7]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, hlm 4.
[8] http://www.dpr.go.id/id/uu-dan-ruu/uud45
, Akses 5 Januari 2014.
[9]
Eleanor D. Kinney, “The International
Human Right to Health”, dalam Indiana Law Review, Vol 34, 1559, hlm
[10]
Muladi, Sumbang Saran Perubahan UUD 1945, Yayasan Habibie Center, 2004,
hlm 63
[11]
Ibid.
[12]
Konstitusi Republik Indonesia Serikat
[13] Terjemahan Penulis.
[14] Kovenan tersebut telah diratifikasi
dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
covenant on civil and political rights (kovenan internasional tentang hak-hak
sipil dan politik).
[15]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, hlm 6.
[16]
Eleanor D. Kinney, The International Human Rights to Health: What Does This
Mean for Our Nation and World, (Indiana Law review, Vol. 34:1457), hlm. 2
[17]Syekh Syaukat Hussain, Hak Asasi Manusia dalam Islam, (Jakarta,
Gema Insani Press, 1996), hlm. 54
[18]
Ibid.
[20] http://www.dpr.go.id/id/uu-dan-ruu/uud45
di akses 5 Januari 2014, 07.20
[21]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia,
hlm 4.
[22]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, hlm
7-8.
[23] International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights. Adopted and opened for
signature, ratification and accession by General Assembly resolution 2200A
(XXI) of 16 December 1966. Hlm. 4
[24]
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, hlm
18-19.
HAK ATAS DERAJAT PELAYANAN KESEHATAN YANG OPTIMAL
Reviewed by Unknown
on
Monday, May 12, 2014
Rating:
Kewajiban Pemerintah untuk memenuhi hak atas kesehatan sebagai hak asasi manusia memiliki landasan yuridis internasional dalam Pasal 2 ayat (1) Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang ditetapkan oleh Majelis Umum PBB 2200 A (XXI) tanggal 16 Desember 1966. Pasal 28 I ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.[20] Kewajiban pemerintah ini juga ditegaskan dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah.
ReplyDelete