YAYASAN SUATU BADAN HUKUM
Pertumbuhan Badan Hukum
Yayasan cukup pesat dalam masyarakat Indonesia. Keberadaan yayasan pada
dasarnya merupakan pemenuhan kebutuhan bagi masyarakat yang menginginkan adanya
wadah atau lembaga yang bersifat dan bertujuan sosial, keagamaan dan
kemanusiaan. Dengan adanya yayasan, maka segala keinginan sosial, keagamaan dan
kemanusiaan itu dapat diwujudkan di dalam suatu lembaga yang telah diakui dan
diterima keberadaannya. Bahkan ada pendapat mengatakan bahwa yayasan merupakan
nirlaba, artinya tujuannya bukan mencari keuntungan, melainkan melaksanakan
sesuatu yang bersifat amal.
Namun tidak semua yayasan
yang ada dalam masyarakat itu didaftarkan untuk menjadikannya suatu badan hukum
menurut peraturan yang berlaku. Di Indonesia kegiatan sosial kemanusiaan yang
dilakukan yayasan diperkirakan muncul dari kesadaran masyarakat kalangan mampu
yang memisahkan kekayaannya untuk membantu masyarakat yang mengalami kesusahan.
Adapun alasan mereka memilih mendirikan yayasan karena jika dibandingkan dengan
bentuk badan hukum lain yang hanya terkonsentrasi pada bidang ekonomi dan
usaha, yayasan dinilai lebih memilih ruang gerak untuk menyelenggarakan
kegiatan sosial seperti pendidikan,
kesehatan serta keagamaan yang pada umumnya belum ditangani oleh badan-badan
hukum lain.[1]
Pendirian suatu yayasan di
Indonesia, sebelum adanya Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan
hanyalah berdasarkan kebiasaan yang hidup
dalam masyarakat dan yurisprudensi Mahkamah Agung. Proses pendirian
yayasan yang mudah mendorong orang untuk mendirikan yayasan dalam menjalankan
kegiatan mereka. Oleh karenanya yayasan berkembang di masyarakat tanpa ada aturan yang jelas, banyak yayasan disalahgunakan
dan menyimpang dari tujuan semula yaitu bidang sosial kemanusiaan. Sedangkan
status hukumnya sebagai badan hukum masih sering dipertanyakan oleh banyak
pihak, karena keberadaan yayasan sebagai subyek hukum belum mempunyai kekuatan
hukum yang tegas dan kuat.[2]
Pada waktu itu ada
kecendrungan masyarakat memilih bentuk yayasan antara lain karena alasan
proses pendirian sederhana, tanpa
pengesahan dari pemerintah, adanya persepsi dari masyarakat bahwa yayasan bukan
merupakan subyek hukum.[3]
Dalam Putusan Mahkamah Agung
Republik Indonesia tanggal 27 Juni 1973 Nomor 124K/Sip/1973 telah berpendapat
bahwa yayasan adalah badan hukum. Akan tetapi bagaimana tata cara yang harus
dipenuhi oleh pengelola yayasan untuk memperoleh status badan hukum tersebut
masih juga belum secara jelas diatur dalam peraturan perUndang-Undangan,
keberadaan lembaga yayasan hanya didasarkan pada kebiasaan, doktrin dan
yurisprudensi Mahkamah Agung. Hal ini menunjukkan walaupun tidak disebutkan
secara tegas, yayasan di Indonesia telah
diakui pula sebagai badan hukum.
Untuk diakui sebagai badan
hukum yayasan harus memenuhi :
a) Syarat materiil yang terdiri
dari, harus ada pemisahan harta kekayaan, adanya tujuan tertentu dan mempunyai
organisasi.
b)
Syarat formil yaitu didirikan
dengan akta autentik.[4]
Umumnya yayasan selalu
didirikan dengan akta notaris sebagai syarat bagi terbentuknya suatu yayasan.
Namun ada juga yayasan yang didirikan oleh badan-badan pemerintah dilakukan
atau dengan suatu Surat Keputusan dari
pihak yang berwenang untuk itu atau dengan akta notaris. Didalam akta notaris
yang dibuat tersebut dimuat ketentuan tentang pemisahan harta kekayaan oleh
pendiri yayasan, yang kemudian tidak boleh lagi dikuasai oleh pendiri. Akta notaris itu tidak
didaftarkan di Pengadilan Negeri dan tidak pula diumumkan dalam berita negara.
Para pengurus yayasan tidak diwajibkan untuk mendaftarkan dan mengumumkan akta
pendiriannya, juga tidak disyaratkan pengesahan aktanya Kementerian Hukum Dan
Hak Asasi Manusia.
Selama ini beberapa peraturan
PerUndang-Undangan yang berlaku hanya menyebutkan mengenai yayasan tanpa
menjelaskan atau mengatur tentang pengertian yayasan, seperti yang terdapat
dalam Pasal 365, Pasal 899, Pasal 900 dan Pasal 1680 KUHPerdata. Didalam
pasal-pasal ini sama sekali tidak memberikan
pengertian tentang yayasan.
Agar pengertian yayasan tidak
menyimpang maka pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan. Pengertian yayasan pada
Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2004 menyatakan bahwa :
“Yayasan adalah suatu badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan
untuk mencapai tujuan tertentu dibidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan yang
tidak mempunyai anggota”.[5]
Setelah keluarnya
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang
Yayasan, maka penentuan status badan hukum yayasan harus mengikuti ketentuan
yang ada didalam Undang-Undang tersebut.
Dalam Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa yayasan memperoleh status badan
hukum setelah akta pendirian memperoleh pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia.
Dengan ketentuan tersebut
dapat diketahui yayasan menjadi badan hukum karena Undang-Undang atau
berdasarkan Undang-Undang bukan berdasarkan sistem terbuka yaitu berdasarkan
pada kebiasaan, dokrin dan yurisprudensi. Modal awalnya berupa kekayaan
pendiri yang dipisahkan dari kekayaan pribadinya yang lain. Memiliki tujuan
tertentu yang merupakan konkretisasi nilai-nilai keagamaan, sosial dan
kemanusiaan, tidak memiliki anggota.[6]
Yayasan sebagai suatu badan
hukum, memiliki hak dan kewajiban yang independen, yang terpisah dari hak dan
kewajiban orang atau badan yang mendirikan yayasan, maupun para Pengurus serta
organ yayasan lainnya.[7]
Yayasan merupakan suatu badan yang melakukan berbagai kegiatan yang bersifat
sosial dan mempunyai tujuan idiil.[8]
Dengan diberlakukannya
Undang-Undang Yayasan, status badan hukum yang jelas pada sebuah yayasan
diperoleh setelah ada akta pendirian yayasan, dan syarat-syarat pendiriannya
adalah sebagai berikut :
1)
Didirikan oleh satu orang
atau lebih;
2)
Ada kekayaan yang dipisahkan
dari kekayaan pendirinya;
3)
Dilakukan dengan akta notaris
dan dibuat dalam Bahasa Indonesia;
4)
Harus memperoleh pengesahan
dari Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia;
5)
Diumumkan dalam Tambahan
Berita Negara Republik Indonesia;
6) Tidak boleh memakai nama yang
telah dipakai secara sah oleh yayasan lain atau bertentangan dengan ketertiban
umum dan atau kesusilaan;
7)
Nama yayasan harus didahului
dengan kata “Yayasan”.
Ketentuan tersebut
dimaksudkan agar penataan administrasi pengesahan suatu yayasan sebagai badan
hukum dapat dilakukan dengan baik guna mencegah berdirinya yayasan tanpa
melalui prosedur yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun
2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2004 tentang Yayasan isinya selain bersifat mengatur, juga bersifat memaksa.
Undang-Undang ini bukan hanya berlaku terhadap yayasan yang didirikan setelah
Undang-Undang Yayasan tersebut berlaku, melainkan berlaku pula terhadap yayasan
yang ada sebelum Undang-Undang Yayasan tersebut ada.
Pada prinsipnya, terkait status badan hukum, yayasan yang telah ada sebelum berlakunya
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang
Yayasan, berdasarkan pada yurisprudensi dan doktrin, tetap diakui menjadi badan
hukum apabila memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan.
Berdasarkan ketentuan peralihan Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2004, sejak berlakunya undang undang tersebut akan muncul dua pengakuan
yang berbeda terhadap yayasan. Ada yayasan yang diakui sebagai badan hukum,
sementara di sisi lain ada juga yayasan yang tidak diakui sebagai badan hukum.
Pengakuan tersebut menimbulkan konsekwensi yuridis bagi Yayasan yang telah ada
sebelum berlakunya Undang-Undang Yayasan tersebut.[9]
Yayasan yang telah ada
sebelum berlakunya Undang-Undang Yayasan tersebut, dan telah didaftarkan di Pengadilan Negeri tetap diakui
sebagai badan hukum. Hal ini merupakan hak yang telah diperoleh yayasan
sebelumnya, oleh karena itu sesuai dengan prinsip hukum yang belaku, hak
tersebut tidak dapat hilang begitu saja.
Pendaftaran yang telah
dilakukan oleh Yayasan sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004
pada Pasal 71 Ayat (1) tentang Yayasan
hanya terbatas pada Yayasan yang :
Ø Telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita
Negara Republik Indonesia.
Ø Telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan Mempunyai izin melakukan
kegiatan dari instansi terkait.
Dengan pendaftaran tersebut
yayasan tetap diakui sebagai badan
hukum. Pengakuan sebagai badan hukum bukan berlangsung secara otomatis, namun
terlebih dahulu yayasan harus memenuhi semua
persyaratan yang diwajibkan untuk
dilakukan menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004. Persyaratanya
adalah yayasan wajib menyesuaikan anggaran dasarnya dengan ketentuan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang
Yayasan dengan ketentuan bahwa paling lambat 3 (tiga) tahun sejak mulai
berlakunya Undang-Undang ini telah melakukan penyesuaian (6 Oktober 2008).
Sementara itu, yayasan yang
belum pernah terdaftar di Pengadilan Negeri
dapat memperoleh status badan hukum dengan cara menyesuaikan anggaran
dasarnya dan wajib mengajukan permohonan kepada Menteri dalam jangka waktu
paling lambat 1 ( satu ) tahun sejak Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang
Yayasan tersebut berlaku . Bila dalam batas waktu tersebut pendiri yayasan
lalai menyesuaikan anggaran dasarnya dengan Undang-Undang Yayasan tersebut,
maka yayasan tidak dapat diakui sebagai yayasan dan permohonan pengesahannya
ditolak oleh Menteri Hukum Dan Hak Azazi Manusia.
Yayasan itu juga wajib
memberitahukan kepada Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia setelah pelaksanaan
penyesuaian anggaran dasarnya. Sangsi yang diberikan kepada yayasan yang
tidak menyesuaikan anggaran dasarnya adalah yayasan dapat dibubarkan
berdasarkan putusan pengadilan atas permohonan kejaksaan atau pihak yang
berkepentingan.[10]
A. Sejarah PerUndang-Undangan Tentang Yayasan
Sebelum lahirnya
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan, kedudukan Yayasan sebagai
Badan Hukum (rechtspersoon) sudah diakui dan diberlakukan sebagai badan
hukum, namun status yayasan sebagai
Badan Hukum dipandang masih lemah, karena tunduk pada aturan-aturan yang bersumber dari kebiasaan
dalam masyarakat atau yurisprudensi.
Pada saat itu masyarakat
mendirikan yayasan dengan maksud untuk berlindung dibalik status Badan Hukum
Yayasan, yang tidak hanya digunakan sebagai wadah mengembangkan kegiatan
sosial, keagamaan, kemanusiaan, melainkan juga adakalanya bertujuan untuk
memperkaya diri para Pendiri, Pengurus, dan Pengawas. Pada hal peranan yayasan
di sektor sosial, pendididkan dan agama sangat menonjol, tetapi tidak ada satu
Undang – Undang pun yang mengatur secara khusus tentang yayasan.
Yayasan, dalam bahasa Belanda
disebut Stichting, dalam KUHPerdata yang
berlaku di Indonesia tidak terdapat pengaturannya. Istilah yayasan dapat
dijumpai dalam beberapa ketentuan KUHPerdata antara lain dalam Pasal 365, Pasal
899, Pasal 900 dan Pasal 1680.[11]
Dengan ketidakpastian hukum
ini yayasan sering digunakan untuk menampung kekayaan para
pendiri atau pihak lain, bahkan yayasan dijadikan tempat untuk memperkaya para
pengelola yayasan. Yayasan tidak lagi bersifat nirlaba, namun yayasan digunakan
untuk usaha – usaha bisnis dan komersial dengan segala aspek
manifestasinya.
Dengan ketiadaan peraturan
yang jelas ini, maka semakin berkembang dan bertumbuhanlah yayasan-yayasan di
Indonesia dengan cepat, pertumbuhan ini tidak diimbangi dengan pertumbuhan
Undang-Undang yang mengatur bagi yayasan itu sendiri, sehingga masing-masing
pihak yang berkepentingan menafsirkan pengertian yayasan secara sendiri-sendiri
sesuai dengan kebutuhan dan tujuan mereka.
Dalam rangka menjamin
kepastian dan ketertiban hukum agar yayasan berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuannya
berdasarkan prinsip keterbukaan dan akuntabilitas kepada masyarakat, maka pada
tanggal 6 Agustus 2001 disahkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang
Yayasan yang mulai berlaku 1 (satu) tahun kemudian terhitung sejak tanggal
diundangkan yaitu tanggal 6 Agustus 2002.
Kemudian pada tanggal 6 Oktober 2004 melalui Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2004 disahkannya Undang -undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang perubahan Undang -undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan. Cepatnya
perubahan atas Undang -undang yang mengatur tentang Yayasan ini menunjukkan
bahwa masalah yayasan tidak sederhana dan badan hukum ini memang diperlukan
oleh masyarakat.
Undang -undang Nomor 28 Tahun
2004 ini tidak mengganti Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001. Perubahan ini hanya
sekedar mengubah sebagian Pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001.
Jadi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tidak mengubah seluruh Pasal yang ada
didalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001.
Undang-Undang ini dimaksudkan
untuk memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat mengenai yayasan, menjamin
kepastian dan ketertiban hukum serta mengembalikan fungsi yayasan sebagai
pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu di bidang sosial,
keagamaan, dan kemanusiaan berdasarkan prinsip keterbukaaan dan akuntabilitas..
Undang-Undang ini menegaskan bahwa yayasan adalah suatu badan hukum yang mempunyai maksud dan tujuan bersifat sosial,
keagamaan dan kemanusiaan, didirikan dengan memperhatikan persyaratan formal
yang ditentukan dalam Undang-Undang ini dan diharapkan akan menjadi dasar hukum
yang kuat dalam mengatur kehidupan yayasan.
B. Tata Cara Pendirian Yayasan
Sebelum berlakunya Undang –
Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004, belum ada
keseragaman tentang cara mendirikan yayasan. Pendirian yayasan hanya didasarkan
pada kebiasaan dalam masyarakat, kerena belum ada peraturan Undang-Undang yang
mengatur tentang cara mendirikan yayasan.
Di dalam hukum perdata,
pembentukan yayasan terjadi dengan surat pengakuan (akta) diantara para
pendirinya, atau dengan surat hibah/wasiat yang dibuat dihadapan notaris. Dalam
surat-surat itu ditentukan maksud dan tujuan, nama, susunan dan badan pengurus,
juga adanya kekayaan yang mewujudkan yayasan tersebut.[12]
Sehingga Pendirian suatu yayasan di dalam hukum perdata disyaratkan dalam dua
aspek yaitu:
1)
Aspek material:
·
Harus ada suatu pemisahan
kekayaan
·
Suatu tujuan yang jelas
·
Ada organisasi (nama,susunan
dan badan pengurus)
2)
Aspek formal, pendirian
yayasan dengan akta otentik[13]
Pada saat sebelum
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang
Yayasan berlaku, umumnya yayasan didirikan selalu dengan akta notaris, baik
yayasan yang didirikan oleh pihak swasta atau oleh pemerintah. Yayasan yang
didirikan oleh badan-badan pemerintah dilakukan dengan suatu surat keputusan
dari pejabat yang berwenang untuk itu atau dengan akta notaris sebagai syarat
terbentuknya suatu yayasan. Namun para pengurus dari yayasan tersebut tidak
diwajibkan untuk mendaftarkan dan mengumumkan akta pendiriannya, juga
pengesahan yayasan sebagai badan hukum ke Menteri Kehakiman pada saat itu.
Ketiadaan aturan ini menimbulkan ketidak seragaman di dalam pendirian yayasan.
Hal inilah yang menyebabkan
masih banyaknya yayasan yang belum
didaftarkan sebagai badan hukum karena tidak ada aturan hukum yang memaksa pada
saat sebelum Undang-Undang Yayasan ada di Indonesia.
Setelah berlakunya
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang
Yayasan, maka suatu yayasan dapat didirikan dengan tata cara yang telah
ditetapkan oleh Undang-Undang. Ada tiga proses yang perlu diperhatikan dalam
pendirian yayasan yaitu :
a)
Proses Pendirian Yayasan
b)
Proses Pengesahan Akta
Yayasan
c)
Proses Pengumuman Yayasan
Sebagai Badan Hukum
C. Tujuan dan Kegiatan Yayasan
Yayasan adalah kumpulan dari
sejumlah orang yang terorganisasi dan dilihat dari segi kegiatannya, lebih
tampak sebagai lembaga sosial. Dari sejak awal, sebuah yayasan didirikan bukan
untuk tujuan komersial atau untuk mencari keuntungan, akan tetapi tujuannya
tidak lebih dari membantu atau meningkatkan
kesejahteraan hidup orang lain.
Keberadaan yayasan merupakan
suatu kebutuhan bagi masyarakat, yang menginginkan adanya wadah atau lembaga
yang bersifat dan bertujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Dengan adanya
yayasan, maka segala keinginan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, itu
diwujudkan di dalam suatu lembaga yang diakui dan diterima keberadaannya.[14]
Keberadaan Yayasan sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2004 tentang Yayasan, menimbulkan berbagai kontroversi sebab yayasan yang pada
dasarnya bertujuan untuk kepentingan
masyarakat, seringkali justru dijadikan wadah melakukan perbuatan melanggar
hukum. Yayasan yang demikian, umumnya telah menyimpang dari maksud dan tujuan
yang telah ditetapkan dalam Anggaran Dasarnya. Usaha yang semula difokuskan
pada usaha yang bersifat sosial dan kemanusiaan itu dibelokkan arahnya sehingga
kepentingan individulah yang diprioritaskan. Selain itu, beberapa yayasan
melakukan usaha layaknya badan usaha yang bertujuan mengejar keuntungan. Dengan
mengejar keuntungan, Yayasan itu umumnya tidak segan untuk melakukan tindakan
melawan hukum dan bertentangan dengan kepentingan umum.
Dengan bergesernya fungsi
yayasan menjadi suatu badan usaha mengakibatkan tujuan aslinya menjadi kabur,
salah arah, dan hampir-hampir tidak terkendali. Tampak disini yayasan digunakan
untuk menjalankan usaha bisnis dan komersial dengan segala aspek
manifestasinya.
Dengan ketiadaan peraturan
yang jelas ini, maka semakin berkembang dan bertumbuhanlah yayasan-yayasan di
Indonesia dengan cepat, pertumbuhan mana tidak diimbangi dengan pertumbuhan
peraturan dan pranata yang memadai bagi yayasan itu sendiri, sehingga
masing-masing pihak yang berkepentingan menafsirkan pengertian yayasan secara
sendiri-sendiri sesuai dengan kebutuhan dan tujuan mereka.
Dalam rangka menjamin
kepastian dan ketertiban hukum agar
yayasan berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuannya berdasarkan prinsip
keterbukaan dan akutabilitas kepada masyarakat, maka pada tanggal 6 Agustus
2001 disahkan Undang-Undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001 yang mulai berlaku
sejak tanggal 6 Agustus 2002 dan diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2004, yang diundangkan pada tanggal 6 Oktober 2004 dan berlaku sejak tanggal 6
Oktober 2005.
Pengundangan Undang-Undang
Yayasan ini dimaksudkan untuk menjamin
kepastian dan ketertiban hukum, serta memberikan pemahaman yang benar kepada
masyarakat mengenai yayasan, sehingga dapat mengembalikan fungsi yayasan
sebagai pranata hukum dalam rangka mencapai tujuan tertentu dibidang sosial,
keagamaan dan kemanusiaan.
Tujuan dari Undang-Undang
ini, memberikan pemisahan antara peran yayasan dan peran suatu badan usaha yang
didirikan, dalam hal ini yayasan sebagai pemegang saham dalam suatu badan usaha
tersebut karena adanya penyertaan modal maksimal 25% dari kekayaan yayasan,
agar tidak terjadi benturan kepentingan dan tumpang tindih kepentingan,
terlebih bila terjadi masalah yang timbul jika ada larangan terhadap organ
yayasan.[15]
Pasal 1 angka (1)
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang
Yayasan jelas menegaskan bahwa Yayasan harus bertujuan sosial, keagamaan, dan
kemanusiaan.
Pada pasal 3, Pasal 7 dan
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001
memperkenankan yayasan untuk melakukan
kegiatan usaha ataupun mendirikan suatu badan usaha. Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 tahun 2001
menyebutkan :
“Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang
pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan atau
ikut serta dalam suatu badan usaha”.[16]
Pada Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2004 ketentuan pada Pasal (3) ini tidak diubah tetapi penjelasan pasal
ini mempertegas bahwa yayasan tidak dapat digunakan sebagai wadah usaha. Dengan
perkataan lain yayasan tidak dapat langsung melakukan kegiatan usaha, tetapi
harus melalui badan usaha yang didirikannya atau melalui badan usaha lain
dimana yayasan mengikut sertakan kekayaannya.
Pada Pasal 7 Undang-Undang
Nomor 16 Tahun 2001 menyebutkan bahwa :
“Yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya
sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan”.[17]
Dari pasal diatas dapat
disimpulkan bahwa yayasan harus
bertujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan, dimana yayasan boleh melakukan
kegiatan usaha asalkan laba yang diperoleh dari hasil usaha tersebut
dipergunakan dan diperuntukkan untuk
tujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan. Usaha yang memperoleh laba ini
diperlukan agar yayasan tidak tergantung selamanya pada bantuan dan sumbangan
pihak lain.[18]
Pasal 8 Undang-Undang Nomor 16
Tahun 200 jo Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 menyebutkan bahwa:
“Kegiatan usaha dari badan usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) harus sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan serta
tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan/atau peraturan
perUndang-Undangan yang berlaku”.[19]
Dalam penjelasan Pasal 8
(delapan) ini, dijelaskan bahwa cakupan
kegiatan usaha yayasan menyangkut Hak Asasi Manusia, kesenian, olahraga,
perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan, dan ilmu
pengetahuan. Dari penjelasan itu, kita dapat menyatakan bahwa tujuan dari
sebuah yayasan adalah meningkatkan derajat hidup orang banyak atau mensejahterakan masyarakat. Mengentaskan
kemiskinan, memajukan kesehatan, dan
memajukan pendidikan merupakan kegiatan usaha yang harus menjadi prioritas bagi
yayasan.
Semua tujuan yayasan
diharapkan berakhir pada aspek kepentingan umum/ kemanfaatan publik sebagaimana
maksud dan tujuan yayasan yang seharusnya.
Sebagai perbandingan di
Inggris difinisi dari tujuan sosial, keagamaan dan kemanusiaan ini, sering kali
dikaitkan dengan pengertian charity atau
sosial Di Inggris dalam Charitable Uses Acts of 1601 mengemukakan ada
4 klasifikasi dari Charity yaitu
mengatasi kemiskinan (The Relief Of Poverty), memajukan pendidikan (The
Advancement of Education), memajukan agama (The Advancement Of religion),
dan tujuan-tujuan lain untuk kepentingan umum (And Other Purpose of
Beneficial to The Community).[20]
Pada klasifikasi diatas
mencakup aspek kepentingan umum atau kemanfaatan bagi publik umumnya. Jadi,
suatu sumbangan atau kegiatan bersifat
charitable (sosial) dan kemanusiaan bila ia bermanfaat untuk masyarakat
pada umumnya.
Yayasan tujuannya bersifar
sosial, keagamaan dan kemanusiaan, namun Undang-Undang tidak melarang yayasan
untuk menjalankan kegiatan usaha. Namun tidak semata-mata untuk mencari laba,
seperti yayasan yang mengusahakan poliklinik atau rumah sakit. Undang-Undang
menghendaki rumah sakit atau poliklinik berbentuk yayasan, namun jika dilihat
dari kegiatan usahanya, rumah sakit atau poliklinik ditujukan juga untuk
mencari laba, namun tujuan yayasan itu bersifat sosial dan kemanusiaan. Jadi
disini rumah sakit tidak dapat dikatagorikan untuk mencari keuntungan tetapi
bertujuan untul sesuatu yang idiil atau filantropis atau amal walaupun tidak
mustahil yayasan itu mendapat keuntungan.
Yayasan sebagai philantropis adalah suatu kegiatan yang
diminati menuju kesejahteraan masyarakat. Arti dari philantropis itu adalah kedermawanan sosial,
yang dijalankan dalam kerangka kesadaran dan kesepakatan perusahaan dalam
menjalankan tanggung jawab sosial perusahaan.[21]
Contoh lain dalam pencapaian nilai philantropis pada yayasan adalah melalui
yayasan yang dirikan oleh perusahaan atau group perusahaan. untuk pencapaian program
Corporate Social Responcibility (CSR). Perusahaanlah yang menyediakan
modal awal, dana rutin atau dana abadi pada yayasan yang didirikannya. Yayasan
ini lah yang menjalankan program CSR perusahaan yang terdorong untuk menolong
sesama dan memperjuangkan pemerataan sosial.
Dalam Pasal 3 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001, diterangkan bahwa kegiatan usaha yayasan
penting dilakukan dalam rangka tercapainya maksud dan tujuan yayasan. Agar
yayasan bisa melakukan kegiatan usaha, yayasan memerlukan wadah atau sarana.
Untuk itu, yayasan diperbolehkan mendirikan badan usaha supaya bisa
melaksanakan kegiatan usahanya,. Bahwa ketika mendirikan badan usaha, yayasan
harus mengutamakan pendirian badan usaha yang memenuhi hajat hidup orang
banyak, misalnya badan usaha yang bergerak dibidang penanganan Hak Asasi
Manusia, kesenian, olahraga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan
hidup, kesehatan dan ilmu pengetahuan dapat kita lihat bahwa disini
bidang-bidang usaha tersebut selalu berorientasi pada kepentingan publik. Di
samping itu, dalam mendirikan badan usaha tersebut organ yayasan perlu
mempertimbangkan beberapa hal berikut yaitu: badan usaha tersebut tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan umum, badan usaha tidak melanggar kesusilaan,
badan usaha itu tidak melanggar aturan dan ketentuan yang berlaku pada Pasal 8
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001.
Ø Pendirian suatu yayasan di Indonesia, sebelum adanya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2004 tentang Yayasan hanyalah berdasarkan kebiasaan yang hidup dalam masyarakat dan yurisprudensi Mahkamah
Agung. Proses pendirian yayasan yang mudah mendorong orang untuk mendirikan
yayasan dalam menjalankan kegiatan mereka. Oleh karenanya yayasan berkembang di
masyarakat tanpa ada aturan yang jelas,
banyak yayasan disalahgunakan dan menyimpang dari tujuan semula yaitu bidang
sosial kemanusiaan. Sedangkan status hukumnya sebagai badan hukum masih sering
dipertanyakan oleh banyak pihak, karena keberadaan yayasan sebagai subyek hukum
belum mempunyai kekuatan hukum yang tegas dan kuat.
Ø Di dalam hukum perdata, pembentukan yayasan terjadi dengan surat pengakuan
(akta) diantara para pendirinya, atau dengan surat hibah/wasiat yang dibuat
dihadapan notaris. Dalam surat-surat itu ditentukan maksud dan tujuan, nama,
susunan dan badan pengurus, juga adanya kekayaan yang mewujudkan yayasan
tersebut.
Ø Yayasan adalah kumpulan dari sejumlah orang yang terorganisasi dan dilihat
dari segi kegiatannya, lebih tampak sebagai lembaga sosial. Dari sejak awal,
sebuah yayasan didirikan bukan untuk tujuan komersial atau untuk mencari
keuntungan, akan tetapi tujuannya tidak lebih dari membantu atau
meningkatkan kesejahteraan hidup orang
lain.
Yayasan
tujuannya bersifar sosial, keagamaan dan kemanusiaan,namun Undang-Undang tidak
melarang yayasan untuk menjalankan kegiatan usaha.
[1] Arie Kusumastuti dan Maria Suhardiadi, Hukum Yayasan
Di Indonesia. (PT. Abadi, Jakarta, 2003), hlm. 1
[2] Yahya Zein, Status Hukum Yayasan, http://yahyazein.blokspot.com /2011/02/Status-hukum-yayasan.html, diakses
22 Maret 2011
[3] Yahya Zein, Ibid.
[4]Http: www.kompascom/Anwar Borahima/Menulis Disertasi Tentang Yayasan/diakses pada tanggal 22 Maret 2011
[5] Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004
[6] Chatamarrasjid Ais, Badan Hukum Yayasan Edisi Revisi.
(PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006), hlm. 2
[7] Gunawan Wijaya, Yayasan di Indonesia Suatu Panduan
Komprehensif. (Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia, Jakarta, 2002), hlm. 4
[8] Gunawan Wijaya, Ibid, hlm. 59
[9] Gunawan Wijaya, Ibid, hlm 60
[10] Pasal 71 ayat (4) Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2004
[11]Rochmat Soemitro, Hukum Perseroan Terbatas, Yayasan dan Wakaf. (PT.
Eresco, Bandung, 1993), hlm. 165
[12] Chatamarrasjid Ais, Badan Hukum Yayasan Edisi Revisi.
(PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006), hlm. 88
[13] Chatamarrasjid Ais, Ibid, hlm. 90
[14] Arie Kusumastuti dan Maria Suhardiadi, Hukum Yayasan
Di Indonesia. (PT. Abadi, Jakarta, 2003), hlm. 1
[15] Chatamarrasjid Ais, Badan Hukum Yayasan Edisi Revisi.
(PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006), hlm. 8
[16] Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001
[17] Ibid,
[18] Chatamarrasjid Ais, Ibid, hlm. 51
[19] Undang-Undang Nomor 16 Tahun 200 jo Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2004
[20] Ningrum N Sirait, Diktat Mata Kuliah Hukum
Perusahaan. Magister Kenotariatan USU,2008
[21] Edi Suharto, Pekerjaan Sosial Industri, CSR Dan
ComDev, Http://pkbl.bumn.go.id/file/PSICSR
ComDevedi 20%suharto.pdf.
YAYASAN SUATU BADAN HUKUM
Reviewed by Unknown
on
Wednesday, January 16, 2013
Rating:
No comments: